Previous Next
  • Perang Teluk

    Invasi Irak ke Kuwait disebabkan oleh kemerosotan ekonomi Irak setelah Perang Delapan Tahun dengan Iran dalam perang Iran-Irak. Irak sangat membutuhkan petro dolar sebagai pemasukan ekonominya sementara rendahnya harga petro dolar akibat kelebihan produksi minyak oleh Kuwait serta Uni Emirat Arab yang dianggap Saddam Hussein sebagai perang ekonomi serta perselisihan atas Ladang Minyak Rumeyla sekalipun pada pasca-perang melawan Iran, Kuwait membantu Irak dengan mengirimkan suplai minyak secara gratis. Selain itu, Irak mengangkat masalah perselisihan perbatasan akibat warisan Inggris dalam pembagian kekuasaan setelah jatuhnya pemerintahan Usmaniyah Turki. Akibat invasi ini, Arab Saudi meminta bantuan Amerika Serikat tanggal 7 Agustus 1990. Sebelumnya Dewan Keamanan PBB menjatuhkan embargo ekonomi pada 6 Agustus 1990...

  • 5 Negara yang Terpecah Akibat Perang Dunia II

    Negara yang terpecah adalah sebagai akibat Perang Dunia II yang lalu di mana suatu negara diduduki oleh negara-negara besar yang menang perang. Perang Dingin sebagai akibat pertentangan ideologi dan politik antara politik barat dan timur telah meyebabkan negara yang diduduki pecah menjadi dua yang mempunyai ideologi dan sistem pemerintahan yang saling berbeda dan yang menjurus pada sikap saling curiga-mencurigai dan bermusuhan. Setelah perang dunia kedua, terdapat empat negara yang terpecah-pecah, antara lain:

  • Serangan Sultan Agung 1628 - 1629

    Silsilah Keluarga Nama aslinya adalah Raden Mas Jatmika, atau terkenal pula dengan sebutan Raden Mas Rangsang. Dilahirkan tahun 1593, merupakan putra dari pasangan Prabu Hanyokrowati dan Ratu Mas Adi Dyah Banowati. Ayahnya adalah raja kedua Mataram, sedangkan ibunya adalah putri Pangeran Benawa raja Pajang. Versi lain mengatakan, Sultan Agung adalah putra Pangeran Purbaya (kakak Prabu Hanyokrowati). Konon waktu itu, Pangeran Purbaya menukar bayi yang dilahirkan istrinya dengan bayi yang dilahirkan Dyah Banowati. Versi ini adalah pendapat minoritas sebagian masyarakat Jawa yang kebenarannya perlu untuk dibuktikan. Sebagaimana umumnya raja-raja Mataram, Sultan Agung memiliki dua orang permaisuri. Yang menjadi Ratu Kulon adalah putri sultan Cirebon, melahirkan Raden Mas Syahwawrat. Yang menjadi Ratu Wetan adalah putri dari Batang keturunan Ki Juru Martani, melahirkan Raden Mas Sayidin (kelak menjadi Amangkurat I)...

  • Perang Dingin

    Perang Dingin adalah sebutan bagi sebuah periode di mana terjadi konflik, ketegangan, dan kompetisi antara Amerika Serikat (beserta sekutunya disebut Blok Barat) dan Uni Soviet (beserta sekutunya disebut Blok Timur) yang terjadi antara tahun 1947—1991. Persaingan keduanya terjadi di berbagai bidang: koalisi militer; ideologi, psikologi, dan tilik sandi; militer, industri, dan pengembangan teknologi; pertahanan; perlombaan nuklir dan persenjataan; dan banyak lagi. Ditakutkan bahwa perang ini akan berakhir dengan perang nuklir, yang akhirnya tidak terjadi. Istilah "Perang Dingin" sendiri diperkenalkan pada tahun 1947 oleh Bernard Baruch dan Walter Lippman dari Amerika Serikat untuk menggambarkan hubungan yang terjadi di antara kedua negara adikuasa tersebut...

  • Perang Kamboja-Vietnam

    Pada tahun-tahun terakhir menjelang kejatuhan saigon tahun 1975, negara-negara anggota ASEAN mencemaskan kemungkinan penarikan mundur pasukan Amerika Serikat dari Asia Tenggara. Ketegangan terus memuncak mengingat ASEAN adalah negara-negara Non-Komunis sedangkan negara-negara Indochina adalah negara komunis. Kemenangan Vietnam pada Perang Vietnam sudah tentu mengkhawatirkan ASEAN ditengah rencana Amerika Serikat untuk mengurangi kehadiran pasukannya yang selama ini secara tak langsung melindungi ASEAN dari invasi komunis ke kawasan tersebut...

Posted by Rifan Syambodo Categories: Label:

Pada abad pertengahan, di Barat sedang terjadi pergulatan antara nalar dan agama. Nalar adalah refleksi dari rasionalitas yang terbelenggu oleh dogma gereja yang ambigu. Pada akhirnya Nalar berhasil mengesampingkan keimanan, akibatnya barat menjadi tersekularkan.

Setelah melewati masa Renaissance, periode pencerahan hingga sampai ke zaman modern ini keimanan semakin terbenam dalam kubangan rasionalitas. Nalar dipisahkan dari agama dan keyakinan hanyalah persoalan individu semata yang didominasi oleh kebebasan yang azasi.

Di Amerika, gereja semakin ditinggalkan jamaahnya lantaran rumah ibadah tersebut menjadi penghalang dalam mengekspresikan kebebasan akal.

Madonna, salah seorang diva musik dunia memilih untuk mempelajari dan mempraktekkan ajaran Kabbalah, disusul oleh Demi Moore dan sederet artis kondang lainnya. Saat ini Kabbalah menjadi agama alternatif bagi sejumlah selebritis dunia. Faktor apa yang seolah menghipnotis minat sehingga Kabbalah menjadi pilihan mereka?

Sejatinya Kabbalah adalah kepercayaan Yahudi yang amat rahasia disampaikan pada anggota dari mulut ke mulut. Ajarannya berupa ilmu sihir dan ritual pemujaan setan yang telah dikembangkan sejak ribuan tahun. Secara harafiah Kabbalah (Qabala) bermakna tradisi lisan. Kata Kabbala diambil dari bahasa Ibrani: qibil yang bermakna menerima atau tradisi warisan. Dengan demikian ajaran Kabbalah mempunyai arti menerima doktrin ilmu sihir (okultisme) yang hanya diketahui oleh segelintir orang.

Menurut sejarah, Ordo Kabbalah telah berusia 4.000 tahun, sejak Nabi Ibrahim as meninggalkan Sumeria, akhirnya menyebar ke Mesir Kuno hingga Ke Palestina. Ordo Kabbalah dibentuk dan diberi nama Ordo Persaudaraan saat perpindahan Bani Israil ke Babilonia yakni pada era Dinasti Ur ke 3 ( 2112 -2004 SM ). Salah seorang pendeta tinggi Kabbalah yakni Samiri yang mengajak Bani Israil saat eksodus dari Mesir untuk menyembah anak sapi emas bertepatan saat Nabi Musa as berkhalwat di gunung Tursina-Sinai.

Doktrin mistis Kabbalah merupakan induk dari segala ilmu sihir yang ada di dunia hingga hari ini. Sejatinya merupakan elemen eksternal yang menyusup ke dalam agama Yahudi. Ditinjau dari segi pemahaman, Kabbalah terdiri dari 3 ordo : Ordo Hijau, Kuning, serta Putih. Ordo putih nyaris tidak teridentifikasi oleh peneliti. Hal ini lebih disebabkan gerakannya sangat rahasia, dan mereka berkonsentrasi pada misi politik. Sedang ordo Hijau dan Kuning lebih menekankan pada aspek penyembahan terhadap Lucifer.

Ajaran Kabbalah dirumuskan untuk menentukan jalannya peradaban manusia dengan membentuk satu pemerintahan dunia (E Pluribus Unum) di bawah kendali Yahudi. Tradisi Kabbalah ditengarai menghasilkan filsuf besar seperti Plato, Socrates dan lain-lain, juga faham Rasisme yang kemudian diadopsi Hitler untuk berkuasa. Untuk dibaiat menjadi anggota ordo putih, harus memiliki gelar magister pada satu disiplin ilmu. Hanya Yahudi dari garis keturunan yang lurus yang diizinkan untuk menjadi anggota. Di dalam fase rekrutmen ini ditempuh melalui pendidikan tidak kurang dari 40 hari. Prinsip ini yang selanjutnya digunakan oleh kelompok persaudaraan Illuminati.

Menurut ajaran Kabbalah, proses penciptaan dimulai dengan munculnya benda-benda yang disebut Sefiroth yang artinya lingkaran-lingkaran atau orbit-orbit yang bersifat material maupun spiritual. Benda tersebut berjumlah 32. Sepuluh yang pertama beremanasi dengan Tuhan yang gaib di kedalaman yang tak terbatas. Dogma Kabbalah ada relasinya dengan sistem kepercayaan astrologi kuno. Pada hakekatnya Kabbalah telah menyimpang jauh dari agama Yahudi. Ajaran tersebut menjadi doktrin mistis dari keimanan Yahudi yang melenceng dari Taurat.

Theodore Reinach seorang pakar sejarah Yahudi mendiskripsikan bahwa Kabbalah adalah racun teramat halus yang menyusup dan memenuhi nadi agama Yahudi. Doktrin tentang Tuhan mereka, bertentangan dengan fakta penciptaan dalam Taurat.

Penjelasan kaum Kabbalis tentang Tuhan direfleksikan sebagai bentuk tertinggi yang tak terlukiskan yang disebut En Sof. Adapun En Sof telah memanifestasikan dirinya kepada pengikutnya dalam sepuluh aspek (Sefiroth) realitas ilahiah. Kesepuluh aspek tersebut yakni: Kether Elyon : Mahkota tertinggi; Hokhmah : Kebijaksanaan; Binah : Akal; Hesed : Cinta atau pengampunan; Din : Kekuasaan; Rakhamim: Kasih Sayang; Netsakh : Keabadian; Hod : Kegungan; Yesod : Fondasi; Malkuth: Kerajaan (Sekhinah).

Sebenarnya Sefiroth adalah ekspresi paling lugas dari ajaran pagan Kabbalah, diilustrasikan sebagai pohon yang tumbuh terbalik, akarnya di kedalaman, En Sof dan puncaknya terdapat di Sekhinah ( dunia ). En Sof merupakan jabaran dari getah yang mengalir melalui dahan pohon dan membuatnya hidup serta menyatukan dahan-dahan dalam realitas yang rumit dan misterius.

Kaum Kabbalis tidak antagonis terhadap falsafah namun bagi mereka simbolisme dan mitologi jauh lebih memuaskan dalam menyingkap hakekat Tuhan.

Ketika berakhirnya kekuasaan Romawi di Palestina, para pendeta Kabbalah memutuskan untuk merekam tradisi lisan tersebut ke dalam papyrus agar dapat diwariskan kepada generasi selanjutnya. Tugas tersebut diamanahkan pada Rabbi Akiva Ben Josef seorang ketua majelis tinggi pendeta Sanhendrin, serta seorang kepercayaannya rabbi Simon Ben Joachai. Kitab suci Kabbalah terbagi dalam dua buku: Sefer Yetzerah (Kitab Penciptaan) dan Sefer Zohar (Kitab Kemegahan). Zohar penuh dengan ayat-ayat rahasia. Ayat-ayat tersebut hanya bisa dipahami melalui kitab Yetzerah.

Di Eropa beberapa abad setelah Masehi muncul Sefer Bahir (Kitab Cahaya).

Kitab suci Kabbalah ditulis dalam bahasa Ibrani, selanjutnya diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Rujukan kaum Kabbalis tersebut berisi ajaran suci bagi kultus sesat dan penyembahan terhadap iblis. Teologi Kabbalah tersusun dari mitologi paganisme dan menjadi dasar dari kemerosotan agama Yahudi. Klaim Kabbalah bahwa manusia bertanggung jawab terhadap keberadaannya. Kaum Kabbalis menyebut iblis sebagai Lucifer (cahaya atau pencerahan ). Hal tersebut berkaitan dengan kepercayaan mereka yaitu kekuasaan yang berasal dari cahaya, api dan matahari yang merupakan perlambang iblis.

Di dalam struktur ajaran mereka terdapat hirarki kekuasaan: Sefrotim (penyinaran) diasosiasikan sebagai makhuk supra natural. Dalam bahasa Ibrani disebut : Shedim yang terdiri dari sejumlah roh. Shedim yang kawin dengan manusia disebut Mazzikim dan anak hasil perkawinannya disebut: Banim Shovanim (anak haram jadah).

Kabbalah merepresentasikan bahwa manusia menjadi suci setara dengan Tuhan, dalam istilah modern dikenal dengan faham Humanisme.

Penganut Kabbalah menggunakan simbol-simbol. Organ lelaki disimbolkan dengan Phallus (Lingga), perlambang kekuasaan regeneratif. Organ wanita dimanifestasikan oleh Yuna yang melambangkan kesuburan.

Lain halnya untuk menjelaskan struktur hirarki, mereka menggunakan segitiga dan piramida. Para elit Kabbalis berada pada puncak piramida yang menguasai massa yang menopang bangunan tersebut. Teologi Kabbalah merebak ke seluruh dunia, hadir dalam masyarakat diberbagai aspek. Di Indonesia pernah ada gereja iblis, hotel serta night club yang dinisbahkan kepada Lucifer. Sedang di Persia kaum Kabbalis mengejawantah ke dalam agama Zoroasterisme. Para pemuka agama Zoroaster disebut dengan Magi, ritual ajarannya: Magus. Dari isitilah itulah muncul ilmu magis. Adapun Hadits Nabi Muhammad SAW menyebut bahwa Zoroaster seperti halnya Majusi, aliran ini mempelajari sihir okultisme dan tenung dengan bantuan jin.

Seiring dengan merebaknya Ilmu Astrologi dan numerologi, agama Kabbalahpun berkembang di Sumeria-Mesir, Babilonia sampai ke Persia. Ajaran Kabbalah di Persia tertulis dalam kitab Avesta, sedang Lucifer disebut: Ahuramazda (Ormuzd : sang pembawa cahaya) yang diaplikasikan dengan penyembahan api dan matahari.

Di Palestina ajaran Kabbalah menyebar dipimpin oleh Herodes II, gubernur Romawi serta dua orang pembantunya: Ahiram Abiyud dan Moav Levi, mereka melawan ajaran Yesus, kelompok tersebut berupaya membangun kembali Haikal Sulaiman di Yerusalem. Majelis Kuasa Rahasia Kabbalah yang dipimpin Herodes II memerintah untuk menyembelih Nabi Zakaria as, juga membunuh Nabi Yahya as dan meletakkan penggalan kepalanya di atas nampan. Gubernur lalim tersebut juga mengeluarkan dekrit hukum mati terhadap Yesus (Nabi Isa as). Dalam waktu singkat, Injil versi Kabbalah berkembang ke seantero kekaisaran Romawi dan menjalar hingga ke Eropa.

Selanjutnya Majelis tersebut juga mendirikan The Knights Templar yang merupakan cikal bakal dari gerakan Freemasonry dengan cara menyusupkan anggotanya sebagai seorang Kristen Katholik yang berperan sebagai ordo militer dalam perang salib.

Di Provence-Perancis tradisi lisan Kabbalah dibukukan pada abad ke-13. Kaum Kabbalis generasi selanjutnya memaparkan bahwa problem kejahatan sejatinya merupakan dampak dari kecelakaan primordial yang terjadi pada awal proses pengungkapan diri Tuhan. Mitologi Kabbalah telah terbukti memuaskan secara psikologis saat tragedi menyelimuti kaum Yahudi Spanyol pada abad ke-15. Tuhan Kabbalis berperan membantu memaknai penderitaan yang membelenggu. Metode pencerahan ala Kabbalah seperti layaknya metode psikoanalis masa kini dalam pencarian kebenaran sekular, Teologi yang menyimpang ini membebaskan seseorang dari penjara duniawi membawa menuju ranah ilahiah, dengan cara inilah belenggu jiwa dibuka hingga ditemukan sumber kekuatan psikis yang mencerahkan serta mengobati penderitaan. Mistisisme Kabbalis menjustifikasi mampu menerobos ke dalam pikiran dibanding bentuk-bentuk agama yang ”rasional”. Klaim mereka “bahwa Tuhan kaum Kabbalis mampu menjawab kebutuhan, ketakutan dan kecemasan primitive”.

Sampai sejauh ini Barat menilai Tuhan dengan caranya yang kian sekular. Sesungguhnya seperti itulah gambaran tentang pencarian Tuhan oleh para selebritis dunia yang semakin kebablasan.

Jauh berbeda dengan aqidah Islam ; sebelum membangun kerangka iman terlebih dulu dilakukan pemahaman lewat ilmu, yang diimplementasikan dengan amal saleh, dan yang paling utama kita harus mendudukkan wahyu di depan kenisbian nalar. Sehingga akan terwujud sinergitas yang prima antara nalar dan agama. Akhirnya hanya Islamlah satu-satunya agama yang mempunyai konsep sempurna dan final, jauh sejak agama tersebut diturunkan oleh Allah lewat wahyu melalui perantaraan Jibril kepada junjungan kita Rasulullah SAW. Allahua'alm. (pz/kz)

Sumber: http://www.eramuslim.com
Posted by Rifan Syambodo Categories: Label:

Sebuah laporan yang dirilis kemarin (21/7) oleh Pew Research Center menunjukkan bahwa mayoritas Muslim di beberapa negara Timur Tengah percaya bahwa serangan 11 September tidak dilakukan oleh orang Arab. Laporan yang berjudul "Muslim-Western Tensions Persist", berusaha untuk menyelidiki sikap masyarakat tentang hubungan antara dua komunitas global tersebut.


Untuk bagian dari survei yang terkait dengan serangan 11 September, tanggapan dikumpulkan dari umat Islam di Mesir, Turki, Palestina, Yordania, Libanon, Israel, Indonesia dan Pakistan.

Mayoritas responden Muslim di setiap negara-negara ini mengatakan mereka tidak percaya serangan 9/11 itu dilakukan oleh orang Arab, tingkat tertinggi berada di Mesir di mana 75 persen Muslim mengatakan mereka tidak percaya bahwa orang Arab yang bertanggung jawab, diikuti oleh 73 persen responden Muslim di Turki.

Tidak lebih dari 28 persen responden Muslim di salah satu negara-negara ini mengatakan mereka menerima bahwa serangan itu dilakukan oleh orang Arab, sesuatu yang dilihat sebagai fakta inarguable di Amerika Serikat dan negara-negara Barat lainnya.

Yang lebih luas terkait hasil survei, yang merupakan bagian dari Pew Center's Global Attitudes project, menunjukkan bahwa baik opini publik Muslim dan Barat percaya bahwa hubungan antara kedua kelompok itu bermasalah. Mayoritas responden di Prancis, Jerman, Spanyol dan Inggris mengatakan bahwa hubungan Muslim-Barat buruk, sementara 48 persen orang Amerika dan 38 persen dari Rusia setuju dengan hal itu. Mayoritas yang sama dari negara-negara mayoritas Muslim yang tercantum di atas sepakat bahwa hubungan muslim dengan barat tidak harmonis.

Dua populasi itu berbagi kekhawatiran yang meluas atas pengaruh ekstremisme Islam dan kurangnya kemakmuran di negara-negara Muslim, bagaimanapun, mereka menyimpang dalam menjelaskan penyebab kondisi ini. Mayoritas (53 persen) Muslim percaya bahwa AS dan kebijakan luar negeri Barat adalah faktor kurangnya kemakmuran bagi negara-negara Muslim, sementara hanya 14 persen dari warga Barat percaya dengan teori seperti itu.

Perbedaan utama lain yang timbul dari survei adalah keunggulan identitas nasional vs agama. Di setiap negara-negara Muslim yang disurvei, dengan pengecualian Libanon dan wilayah Palestina, responden mengatakan bahwa mereka diidentifikasi sebagai Muslim pertama dan kedua kewarganegaraan mereka.

Sementara itu, mayoritas besar responden di negara-negara Barat mengatakan kebangsaan mereka yang lebih diutamakan daripada identitas agama mereka, kecuali di Amerika Serikat di mana terbagi hampir sama dari 46 persen di mana masing-masing mengatakan bahwa warga Amerika diidentifikasi pertama sebagai seorang Amerika atau pertama sebagai seorang Kristen. (fq/huffingtonpost)

Sumber: http://www.eramuslim.com
Posted by Rifan Syambodo Categories: Label: ,

Jauh setelah perang usai, para serdadu satuan tempur khusus Marsose mengenang Aceh sebagai sebuah paradoks; ladang pembantaian musuh sekaligus kuburan yang mereka gali untuk mereka sendiri.

Menjelang tengah malam, Kamis 10 September 1926, Teungku Peukan memanggil tiga panglima perang andalannya; Said Umar, Nyak Walad dan Waki Ali. Ketiganya diminta segera mengumpulkan pasukan di Meunasah Ayah Gadeng Manggeng. Sebuah rencana sudah disiapkan. Mereka akan berperang, menyerbu kompi Marsose di Kota Blangpidie.

Tapi, di meunasah itu, Teungku Peukan tidak menjabarkan strategi serangan frontal yang sudah disiapkan sejak sepekan terakhir. Dia meminta para pejuang mengikuti ritual wirid dan zikir. Hajatan malam itu selesai. Di ujung pertemuan, Teungku Peukan mengobarkan semangat jihad kepada para pengikutnya, agar tidak gentar melawan serdadu Marsose.

Pertemuan tidak selesai di situ. Teungku Peukan kemudian meminta para pejuang, yang jumlahnya hampir 200 orang, berjalan kaki hingga 20 kilometer menuju Balee Teungku di Lhoong Dayah Geulumpang Payong. Mereka tiba di balee itu pada Jumat dini hari. Di sana, pasukan mengkuti briefing. Pimpinan pasukan menjabarkan rencana serangan.

Waktu itu semua pejuang Aceh diwajibkan memakai pakaian serba hitam dan melilitkan kain kuning di pinggang. Para pejuang diwajibkan menyingsingkan celana sejengkal di atas mata kaki untuk menciptakan kesan sigap dan tidak sombong. Pimpinan pasukan juga berpakaian sama, tapi dilengkapi selempang kuning yang menyilang di bahu hingga pinggang.

Usai shalat subuh, pekik takbir membahana. Dalam sisa-sisa gelap sebelum fajar muncul di langit timur pada pagi hari yang disucikan itu, semua pejuang tiba di Blangpidie dengan klewang dan rencong terhunus. Mereka menyerang tangsi dari tiga sektor. Sektor pertama, yang dipimpin Said Umar, menyerang dari depan. Dua lainnya, dipimpin Wakil Ali dan Nyak Walad, menyerang tangsi Marsose dari kiri dan kanan.

Serangan fajar itu dilakukan dengan sporadis. Serdadu di menara pengintai ditikam dari belakang. Ratusan lainnya, yang sedang tertidur pulas di barak, diserang tiba-tiba. Serdadu Marsose yang dikenal dengan sebutan “Belanda Hitam” (pribumi yang direkrut untuk menjadi tentara bayaran di kemiliteran Belanda ), kocar-kacir. Tangsi berantakan. Senjata api dirampas. Sedikitnya 70 Marsose tewas. Sebagian lainnya terluka dan melarikan diri. Hanya tiga orang yang selamat hidup-hidup dan kemudian ditawan.

Di kubu pejuang Aceh, lima orang tewas.

Menyambut kemenangan perang ini, Teungku Peukan maju ke depan dan mengumandangkan azan. Ini sudah biasa dilakukannya di medan pertempuran. Tapi sayang, harga kemenangan ini sungguh mahal. Teungku Peukan gugur. Ketika azan belum selesai, seorang serdadu Marsose yang bersembunyi di sebuah bilik di Tangsi menembaknya. Teungku Peukan rubuh bersimbah darah. Sebutir peluru karaben menembus dadanya.

Teungku Muhammad Kasim, putra Teungku Peukan, sangat marah ketika mendapati ayahnya sudah tak bernyawa. Ia mengamuk. Pecahan kaca di tangsi digenggamnya kuat-kuat, hingga darah mengucur di lengan kanannya. Ia berlari mengejar serdadu Marsose itu, ingin menikamnya. Tapi, ia kalah cepat, seorang serdadu lain lebih dulu menembak. Teungku Muhammad Kasim rubuh. Ia gugur, menyusul ayahnya.

Di siang yang hening, Jumat 11 September 1926, Teungku Peukan dimakamkan tidak jauh dari lokasi ia tertembak, di sekitar Mesjid Jamik Blangpidie.

Dalam berbagai literatur sejarah, “Serangan Fajar 11 September 1926” dikenal sebagai salah satu pertempuran paling ganas sepanjang sejarah Marsose di Aceh.

Di masa-masa itu, Bakongan Aceh Selatan juga menjadi salah satu tempat paling menakutkan bagi Marsose. Banyak anggota pasukan khusus yang ditugaskan ke daerah ini “pulang tinggal nama”. Kisah yang paling menakutkan bagi Marsose adalah hampir setiap pekan “Kapal Putih” milik angkatan perang Belanda mengangkut puluhan mayat rekan-rekan mereka dari Bakongan menuju Kutaraja (Banda Aceh).

Gejolak perlawanan pejuang Aceh yang paling sulit ditaklukkan di Bakongan yakni jihad yang dikomandoi Teungku Raja Angkasah. Dalam upaya perburuan Angkasah dan pengikutnya, kesatuan Marsose kehilangan banyak anggotanya.

Teungku Raja Angkasah mulai memimpin perlawanan pada awal tahun 1925. Pasukan yang dipimpinnya berhasil memerangi Marsose. Hampir setiap hari ada satu atau dua serdadu Marsose terbunuh. Kondisi ini membuat militer Belanda gusar, hingga akhirnya memutuskan untuk mendirikan satu markas Marsose di Bakongan. Sebelumnya, markas pasukan khusus itu hanya ada lima di seluruh Aceh, masing-masing Indrapuri (Aceh Besar), Jeuram (Aceh Barat), Tangse (Pidie), Peureulak (Aceh Timur) dan Takengon (Aceh Tengah).

Tapi sayang, perlawanan Teungku Raja Angkasah akhirnya terhenti. Ia gugur tertembak pada pertengahan 1928, di tangan seorang perwira Belanda bernama Kapten Paris. [opie]

Sumber: http://seputaraceh.com
Posted by Rifan Syambodo Categories: Label: ,

Dalam memburu gerilyawan Aceh, banyak pasukan Belanda yang tewas dalam hutan belantara, bukan oleh perang, tapi karena kelaparan. Kisah pasukan pimpinan Nutter dan pasukan Berger diantaranya.

Nasib tragis pasukan belanda itu terjadi akibat Nutter yang salah perhitungan dalam menjalankan tugasnya. Ia tersesat dan anak buahnya tersesat dalam hutan belantara. Sepanjang jalan yang ditempuh Nutter mayat-mayat bergelimpangan, karena mati kelaparan.

Satu persatu serdadu Belanda tewas karena kelelahan. Ketika mayat-mayat itu ditemukan oleh pasukan Belanda lainnya, hanya tinggal tulang-belulang, yang dagingnya sudah dibersihkan oleh binatang buas. Hanya seragamnya saja yang bisa menunjukkan bahwa tulang belulang itu adalah mayat serdadu Belanda.

Pasukan lainnya yang mengalami nasib yang sama dipimpin oleh Letnan Berger, yang berangkat dari Tangse, Pidie, menuju Seulimum, Aceh Besar melalui pegunungan. Meski tersesat, Berger tetap percaya diri. Dengan mengandalkan kompasnya ia terus menelusuri belantara. Pun demikian, seorang massoese mati kelaparan akibat tersesat.

Ketika subuh, dalam dinginnya belantara, tubuh-tubuh marsose yang kelaparan itu menjadi kaku. Hal seperti itu sudah sering terjadi, bagi pasukan yang dirundung kelaparan dalam perjalanannya. Marsose lainnya pun memotong kayu sebagai pacang yang ujungnya diruncingkan, untuk menggali lobang dan menguburkan kawannya yang mati kelaparan tersebut.

Setelah menguburkan kawanya itu, seorang marsose bangkit dan mengelilingi kuburan di tengah rimba tersebut. Marsose muda itu berpidato dengan suara keras. “Kita harus tabah….percaya sepenuhnya pada komandan, dan memikul apa yang diembankan kepada kita. Andaikata kita harus menjalaninya, hendaklah kita mati sebagai laki-laki,” katanya.

Kumburan itu pun kemudian ditandai dengan batu-batu. Mereka menggotong bau-batu besar dalam keadaan letih lesu dan menumpukkan diatas tanah kuburan yang gembur itu, agar babi hutan tidak dapat menggali mayat itu.

Mereka melakukan itu karena sebelumnya pernah menemukan, sebuah kuburan tetara masrsose Belanda yang mati di tengah hutan, digali oleh binatang buas, mayatnya pun dicabik-cabik. Setelah kejadian tersebut, setiap ada kematian di hutan belantara, mereka selalu menindih kuburan dengan batu-batu. Seperti pada kematian seorang sersan berjenggot yang bermana Abakotta. Ia dikuburkan dalam perjalanan menuju Tanah Gayo.

Cerita lain, tatkala Schimidt, seorang komandan marsose bersama pasukannya megadakan operasi ke Geumpang, Pidie. Mereka harus mendaki gunung yang curam dan berjalan merangkak. Dari atas gunung mereka mendapat serangan berupa tembakan dari pejuang Aceh.

Opsir Schimidt hampir saja tewas, kalau seandainya seorang sersan Menado tidak melindunginya. Schimidt selamat dari terjangan peluru sememtara sersan menado itu tewas dengan peluru menembus jantungnya. Pada malam harinya pasukan mendirikan bivak, dan para pekerja paksa harus menggali sebuah lobang untuk kuburan sersan Manado dan marsose lainnya yang mati.

Schmidt duduk di dalam kemahnya dan merenungkan keanehan-keanehan yang bernama nasib itu, yang menjadikan tembakan maut yang diarahkan padanya justeru mengenai orang lain. Salah seorang dari komandan brigade dalam itu datang melaporkan dan berkata bahwa “anak-anak marsose” mau bicara sebentar kepadanya.

Schmidt pergi keluar dan dilihatnya sebuah barisan yang rapi, terdiri dari para marsose asal Menado dari kedua brigade itu. Seorang yang tertua, berpangkat kopral, menjadi juru bicaranya. Ia berkata hendaknya komandan tidak marah, karena hal ini sangat menyentuh perasaan mereka, kalau mereka harus menguburkan orang sekampungnya di dalam hutan seperti itu, sedang kelak tidak akan ada orang yang tau di mana ia dikuburkan, dan bahwa kuburannya tidak pernah akan di taburi bunga-bunga. Mereka ingin mengangkut jenazah itu sampai ke pos militer.

Schmidt menjawab bahwa sersan itu tewas karena melindungi komandannya. Akan tetapi untuk mencapai Geumpang, pasukan itu masih harus menempuh perjalanan empat hari lagi. “Saya ingin meninggalkan kenangan indah kepadanya, dan kenangan tersebut akan lenyap bila kita berjalan selama beberapa hari dengan mayat berbau busuk. Oleh karena itu dia dikuburkan disini saja,” kata Shimidt.

Serdadu-serdadu itu dapat memakluminya. Mereka memberi hormat, lalu meninggalkan tempat itu sambil mengangkut jenazah keliang kubur. Kebanyakana dari mereka itu memeluk agama Kristen, dan mereka menyanyikan bersama-sama “Het Hijgend gert der jacht ontkomen” sampai selesai. Mereka bernyanyi pada remang-remang senja hari dalam rimba raya, lalu menimbun kuburan itu bersama-sama.

Keesokan harinya, tanah yang gembur itu diinjak-injaknya sampai padat, untuk menjaga agar tidak dibongkar oleh binatang buas. Diatas kuburan itu dibangun sebuah kandang yang terbuat dari kayu serta daun-daun aren. Dibuatkan pula dua buah pancang segi tiga yang ditanamkan dalam tanah, sebagaimana pasukan kalau hendak memasak makanan, dan di antara kaki-kaki pancang segi tiga itu ditaburkan abu api, sehingga kelihatan benar seakan sebuah gubuk yang bekas di huni manusia.

Kemudian berangkatlah mereka meninggalkan tempat itu. Setengah tahun kemudian kita datang kembali ke tempat itu dan melihat bahwa dari kuburan tersebut telah lahir suatu kehidupan baru. Tongkat-tongkat dahan kayu yang dipotong dari hutan dahulu, telah bertumbuh terus, sehingga semuanya menjadi hutan kembali. Bedanya haya daun-daunnya lebih rindang dibandingkan dengan tanam-tanaman lain di dektanya.

Peristiwa lainnya, seorang letnan marsose dan seorang sersan inlader dalam perjalanan patroli di dekat jeuram, Aceh Barat merasa kelelahan. Ia lalu pergi duduk-duduk sebentar di atas sebuah lesung penumbuk beras dan meninggal dunia. Mayatnya diangkut ke bivak dan dikuburkan beberapa ratus meter jauhya di bawah sebatang pohon duruian.

Tiga brigade serdadu berdiri mengelilingi kuburan itu dan salah seorang diantaranya harus mengucapkan pidato singkat, “Kamu yang harus melakukannya!” kata salah seorang di antara mereka. Tetapi orang itu menolak, karena hal ini dianggapnya bukan suatu pekerjaan, yakni mengutarakan kebaikan-kebaikan seseorang yang kini telah terbaring dalam liang kubur.

Lalu majulah kedepan seorang serdadu inlader, yakni seseorang yang sering main komedi bangsawan. Ia berpidato dikuburanb itu. Dalam pidatonya ia mengutarakan bahwa pasukan brigade senantiasa merasa senang dalam pergaulannya dengan almarhum selama ini. Dia berbicara terus dengan fasihnya seperti. Namun untuk penutup kata-katanya, ia kebingungan mencari kata yang tepat. Tiba-tiba ia mendapat ilham dan berkata, “Sekarang, Sersan Wakijo sudah mati, dan saya minta agar kalian menyerukan tiga kali’hip, hip, hurah!”

Permintaan itu segera disambut dan dipenuhi segenap hadirin. Sudah tentu sorak ‘hip, hip, hurah’ yang pastinya hanya dipakai dalam suasana gembira dari segi bathiniyah tidak mengena dibandingkan dengan pidato singkat pemakaman yang diucapkan sersan untuk rekannya yang telah meninggal.

Sambil berdiri dipinggir liang kubur, matanya sejenak memandang ke peti mati, lalu terlontarlah kata-kata dari mulut sersan itu: “Kini kau telah terbaring disitu. Kami tak dapat melihatmu lagi. Keluargamu di Rotterdam pun tidak pula. Tetapi hanya Dia (Tuhan )yang diatas dapat melihatmu. Tabahlah!

Sumber: http://iskandarnorman.multiply.com/reviews/item/24
Foto: http://commons.wikimedia.org
Posted by Rifan Syambodo Categories: Label: , ,

Perang di Eropa juga sangat berpengaruh terhadap perkembangan di India- Belanda. Ketika Napoleon Bonaparte berkuasa di Prancis, Belanda yang kalah perang, berada di bawah kekuasaan Prancis dari tahun 1806 sampai tahun 1813. Napoleon menempatkan adiknya, Louis Bonaparte menjadi Raja di Belanda. Perubahan situasi di Eropa juga berimbas ke kawasan Asia Tenggara, di mana terdapat persaingan dagang antara Belanda dan Inggris.

Louis Bonaparte mengangkat salah seorang perwira tingginya, Herman Willem Daendels menjadi Gubernur Jenderal di India-Belanda. Daendels sebenarnya adalah seorang pengacara Belanda dan memimpin gerakan melawan Willem V dari Oranien. Setelah gerakannya dihancurkan, ia melarikan diri ke Prancis dan bergabung dengan tentara revolusi dan ikut mengambil bagian dalam penyerbuan Prancis ke Belanda tahun 1793. Tahun 1799 ia mencapai pangkat Letnan Jenderal.

Untuk memperkuat pertahanan serta mempercepat gerakan pasukannya, Daendels membangun jalan dari Anyer di ujung barat Jawa Barat, sampai Panarukan di ujung timur Jawa Timur. Dalam pembuatan jalan tersebut, rakyat di pulau Jawa yang menjadi korban, karena pada dasarnya, mereka dipaksa untuk bekerja dengan kondisi yang sangat berat, sehingga pembangunan jalan tersebut yang memerlukan waktu sekitar empat tahun, diperkirakan telah menelan korban jiwa ribuan rakyat di Jawa, dan membawa kesengsaraan bagi keluarga yang ditinggalkan.

Gilbert Elliot-Murray-Kynynmound, 1st Earl of Minto, Viscount Melgund Of Melgund, di Indonesia dikenal sebagai Lord Minto, Gubernur Jenderal Inggris di India (1807 – 1813), memimpin armada Inggris menyerbu Jawa, dan pada 6 Agustus 1811, bersama Thomas Stamford Raffles, pasukan Inggris mendarat di Jawa, tanpa suatu perlawanan yang berarti dari tentara Belanda-Prancis, tentara Inggris menduduki pulau Jawa dan kemudian menguasai seluruh wilayah Belanda-Prancis. Pada 11 September 1811 Raffles, yang waktu itu baru berusia 30 tahun, diangkat menjadi Letnan Gubernur Jenderal untuk India-Belanda. Itulah awal penjajahan Inggris di Indonesia, yang juga disebut sebagai The British Interregnum.

Raffles melakukan sejumlah reformasi atas sistem kolonial Belanda, untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Namun reformasi yang menelan biaya cukup tinggi, tentu tidak disukai oleh British East India Company, yang adalah suatu perkumpulan dagang yang berorientasi pada keuntungan perdagangan, dan bukan suatu organisasi sosial. Raffles tidak hanya melakukan perubahan drastis dalam masalah administrasi, melainkan melakukan sejumlah ekspedisi dan penelitian di Jawa dan Sumatra, termasuk ke wilayah pedalaman. Di masa pemerintahan Raffles, candi Borobudur yang telah tertutup hutan belantara selama ratusan tahun –sejak kerajaan-kerajaan Hindu/Buddha dihancurkan oleh kerajaan-kerajaan Islam- ditemukan kembali dan kemudian mulai dipugar. Selain itu juga ditemukan jenis bunga yang sangat langka, yang kemudian dinamakan Rafflesia.

Setelah menderita sakit berat dan meninggalnya sang isteri, Raffles yang waktu itu telah bertugas sekitar 4 ½ tahun dipanggil pulang ke Inggris. Tanggal 25 Maret 1816, Raffles berlayar kembali ke Inggris, dan tentunya tanpa rekomendasi yang positif dari para direktur British East India Company. Namun di Inggris, dia mendapat penghargaan sehingga diangkat menjadi bangsawan dengan gelar Sir. Selain membawa sejumlah perubahan dan perbaikan di India Belanda selama menjadi Letnan Gubernur Jenderal, Raffles juga menulis buku The History of Java, yang diterbitkan tahun 1817.

Raffles diganti oleh John Fendall sebagai Letnan Gubernur Jenderal, yang memegang jabatan ini sampai “penyerahan” kembali India Belanda kepada Belanda. Godert A.G.P. Baron van der Capellen menjadi Gubernur Jenderal India Belanda (1816 – 1826) setelah British Interregnum.

Setelah tentara Prancis pada 18 Juni 1815 di Waterloo dihancurkan oleh tentara koalisi di bawah Jenderal Wellington dan Jenderal Blücher, Napoleon Bonaparte ditangkap dan dibuang ke pulau St. Helena. Di Eropa terjadi perubahan situasi politik, di mana Inggris berdamai lagi dengan Belanda. Sebagai akibat perdamaian ini, pada 19 Agustus 1816 wilayah India-Belanda “diserahkan” kembali kepada Belanda, tak ubahnya seperti menyerahkan suatu barang. Ini juga merupakan akhir dari British Interregnum. Setelah itu, Inggris hanya menguasai Bengkulu.

Pada tahun 1813, Baron Minto (meninggal tahun 1814) digantikan oleh Marques of Hastings (1813 – 1821) sebagai Gubernur Jenderal di India, sedangkan Sir Thomas Stamford Raffles sendiri ditugaskan di Bengkulu, yang masih dikuasai oleh Inggris. Raffles berpendapat, untuk mengamankan dan memperlancar perdagangan British East India Company di Asia Timur, perlu didirikan pelabuhan yang akan dijadikan basis. Lord Hastings menyetujui gagasan tersebut. Pada 7 Desember 1818 Raffles berlayar dari Calcutta menuju Selat Malaka dan pada 29 Januari 1819, dia mendarat di pantai suatu pulau di sebelah selatan Malaya yang bernama Singapura. Waktu itu wilayah yang dihuni oleh orang Melayu, masih berada di bawah kekuasaan Belanda. Setelah usai bertugas selama tiga tahun sebagai Letnan Gubernur di Bengkulu, Raflles kembali ke Singapura tahun 1822, dan melanjutkan pembangunan Singapura di mana ia melakukan sejumlah perubahan. Pada bulan Januari 1823, ia menyatakan Singapore sebagai pelabuhan bebas. Pernyataan tersebut berbunyi antara lain:

“… the Port of Singapore is a free Port, and the trade thereof is open to ships and vessels of every nation . . . equally and alike to all.”

Belanda dan Inggris sepakat untuk melakukan “tukar guling” atas Singapura dan Bengkulu. Dalam Traktat London tanggal 17 Maret 1824, Belanda melepaskan seluruh haknya atas Singapura kepada Inggris dan sebagai imbalan, Belanda memperoleh Bengkulu.

Tak lama setelah perjanjian itu, Raffles berlayar kembali ke Inggris dan tiba di London tanggal 22 Agustus 1824. Dia membantu mendirikan kebun bintang di London, London Zoo, dan diangkat menjadi direktur pertama kebun binatang tersebut. Raffles meninggal bulan Juli 1826 karena tumor otak. 

Oleh: Batara R. Hutagalung

Sumber: http://batarahutagalung.blogspot.com
Foto: http://en.wikipedia.org/wiki/File:1801_Antoine-Jean_Gros_-_Bonaparte_on_the_Bridge_at_Arcole.jpg
Posted by Rifan Syambodo Categories: Label: ,

Perang Aceh melawan Belanda (1873 - 1942) adalah perang terlama yang pernah dialami Belanda di Indonesia. Rakyat Aceh tetap melawan pascaruntuhnya istana Darud-Dunia di Koetaradja. Semangat jihad Fi Sabilillah menggemuruh seluruh tanah Rencong. Istana boleh dikuasai, masjid raya boleh dibakar, sulthan boleh dibuang ke Jawa, namun harkat dan martabat Aceh tetap dipertahankan oleh rakyat Aceh dari Sabang sampai ke Aceh Tenggara.

Pelawanan bangsa Aceh terhadap penjajah memang sangat berbeda dengan perlawan suku bangsa lain di nusantara. Di daerah lain, semua berakhir dengan kekalahan dan takluknya Raja mereka terhadap kolonial. Sedangkan Perang Aceh sampai titik darah terakhir. Aceh tidak pernah menyerah Kedaulatannya kepada penjajah Belanda.

Memang ada sejumlah oknum bangsa Aceh yang kemilau matanya melihat fulus Belanda, jabatan yang ditawarkan dan takut mati. Mereka menyerah kepada kaphe Belanda. Tidak baik disebutkan namanya, sebab sampai sekarang masih ada keturunan mereka. Jumlah mereka yang menjadi "budak penjajah" itu tidak banyak, dan telah mendapat hukuman sosial dari masyarakat Aceh.

Marsose

Akibat gagal dijinakkan, Belanda membentuk Korp Militer Marsose yang sangat kejam terhadap rakyat Aceh. Marsose biadab ini, akhirnya memutuskan untuk membumihanguskan tanah Aceh, membuang pahlawan-pahlawan Aceh ke Jawa, Maluku dan Papua, membunuh rakyat awam, membantai perempuan dan anak-anak, merampas harta benda rakyat Aceh, memperkosa dan melakukan apa yang mereka kehendaki. Ribuan nyawa rakyat Aceh bergelimang di Batee Iliek, Samalanga, Jeunieb, Tiro, Peureuelak, Buloh Blang Ara, Takengon, Meulaboh, Tapaktuan, Kota Fajar, Montasiek, Aneuek Galong, dan sebagainya. Namun pejuang Aceh yang rindu merdeka dan mati syahid tidak mau menyerah. Dari pada hidup dijajah lebih baik mati berkalang tanah. Asai bek singet, ro bah meutunggeng!

Tgk Chik Pantekulu dalam hikayat Prang Sabi membakar semangat pejuang:

Nibak mate di rumoh inong

Bahle bak keunong seunjata kaphe

Nibak mate di ateueh tilam

Bahle lam seueh prang syahid meugule

Hikayat Prang Sabi yang digali dari ayat al-Quran dan hadits Nabi telah membakar semangat jihad yang tak putus-putusnya di Aceh. Pertempuran terjadi di seluruh tanoh Aceh. Ribuan kaphe Belanda dikirim ke neraka, dan juga ribuan syuhada Aceh semoga sampai ke surga. Berikut perkiraan para syuhada Aceh yang syahid melawan Belanda (lihat tabel).

Rakyat Aceh memang trauma dengan kekejaman tentara Belanda yang didalamnya juga terdapat orang-orang Kristen dari Maluku, Jawa dan Sulawesi. Ulama-ulama Aceh ada yang hijrah ke Malaya, Arab, atau turut berperang gerilya dalam hutan. Ibu-ibu Aceh kadang-kadang terpaksa menyelipkan rencong di pinggangnya, demi menjaga jangan diperkosa oleh penjajah. Anak-anak gadis ketakutan, bocah-bocah belia tidak hidup normal, kehidupan penuh risiko. Perdagangan macet, kota-kota Aceh dipadati oleh kaum Tiongkhoa, orang Aceh meminggir ke pinggir hutan.

Sejarah Berulang

Seorang sepuh Aceh, Tgk Haji Idris Mahmud Lamnyong (87) bercerita: Suasana Aceh masa Belanda terulang kembali di masa DI/TII, masa DOM, dan sekarang. Kini rakyat kembali ketakutan. Mungkin saja kelaparan dan penyakit kolera akan berulang kembali. Bila perdamaian antara GAM dan RI tidak terwujud, perang besar akan berkecamuk. Bila perang pecah, sejarah akan berulang. Sawah rakyat terbengkalai, tentara yang mirip Marsose masuk kampung seperti zaman itu. Dulu Belanda menjalani politik Plah Trieng (Politik adu domba dijalankan, yang satu diangkat dengan tangan dan yang satu ditekan dengan kakinya).

Dulu banyak orang Aceh yang menjadi cuak Belanda. Syahid Teuku Umar, Teuku Syik Di Tiro, Cut Meutia, Tgk Chik Di Tunong, Pang Abbas, Tgk Imum Lueng Bata, dan lain-lain semua karena kerja cuak. Jangan-jangan nanti juga banyak yang jadi cuak kembali.

Satu hal yang perlu kita renungkan. Setelah Belanda melakukan politik bumi hangus, orang-orang Aceh melakukan perlawanan yang sangat menakutkan: Tipu Aceh. Ada yang membunuh Belanda dengan cara pura-pura bertamu, pura-pura menyerah, menikam Belanda di jalan, dan bahkan siap menjadi martir dengan menyerang Belanda dan bunuh diri.

Orang Belanda memberi gelar hina Aceh Moord (Aceh Pungo) karena tidak mau menyerah kepada mereka. Siapa sebenarnya yang pungo? Terbukti yang pungo itu adalah Belanda sendiri. Orang Aceh masih sehat dan berpikiran jernih. Orang Aceh tidak pernah merampok tanah air Belanda, memperkosa ibunya. Orang Aceh tidak pernah minum arak, main perempuan dan menyembah berhala, tetapi orang Belanda melakukan semua yang terlarang itu. Siapa yang gila?

Oleh: Abu Raudhah

Sumber: http://groups.yahoo.com/group/PPDi/message/3942
Foto: http://commons.wikimedia.org
Posted by Rifan Syambodo Categories: Label: ,

Mungkin banyak orang yang tidak tahu. Di abad ke-19 KNIL merekrut sekitar 3000 laki-laki Afrika untuk menjadi tentara yang ditugaskan di Indonesia yang ketika itu bernama Hindia-Belanda.

Sejumlah besar dari mereka yang dikenal dengan nama 'Belanda Hitam' ini kembali ke Belanda atau beremigrasi ke Amerika dan Kanada setelah perang usai. Tetapi sekitar 500 orang menetap di Indonesia, menikah dengan perempuan Indonesia dan punya keturunan. Griselda Molemans, yang juga generasi kelima Belanda Hitam di Belanda, mencari dan menemukan sejumlah keluarga keturunan Afrika yang masih di Indonesia, Ghana dan Amerika Serikat.

Pengalamannya dituangkan ke dalam buku berjudul 'Zwarte Huid, Oranje Hart' atau Kulit Hitam, Hati Oranje. Buku ini dilengkapi dengan seratus foto keturunan Belanda Hitam, yang dibidik fotografer muda keturunan Indonesia, Armando Ello. Keduanya menceritakan pengalaman mereka kepada Radio Nederland.

Griselda Molemans menemui 12 kelurga berdarah Afrika, yang dikenal dengan nama Belanda Hitam, yang masih hidup di Indonesia. Semuanya tinggal di Pulau Jawa. Tapi ia tidak menutup kemungkinan bahwa masih ada ratusan keturunan Belanda-Afrika yang tinggal di pulau-pulau lain di luar Jawa.

Para mantan tentara KNIL itu dulunya hidup berkecukupan, karena setelah perang mereka menerima pensiun setiap tahunnya sekitar 150 gulden. Saat itu jumlah yang cukup banyak. Selain itu mereka juga punya pekerjaan tambahan lain. Karenanya mereka bisa hidup sesuai dengan standar orang-orang Belanda yang tinggal di Indonesia dulu. Dengan sejumlah babu atau pembantu dan juga jongos.

Nasib anak cucu keturunan tentara Afrika yang kembali ke Belanda, boleh dibilang baik. Mereka berhasil membuka jalan bagi para keturunan agar dapat menikmati hidup cukup di Belanda. Sementara mereka yang memutuskan untuk pindah ke Amerika Serikat, juga punya nasib yang baik, sebagian bahkan kaya raya.

Tetapi keturunan Belanda Hitam yang tinggal di Indonesia, punya cerita yang menyedihkan. Sebagian dari mereka tinggal di Indonesia karena tidak punya pilihan ketika perang berakhir. Yang lainnya tidak tahu bahwa mereka membutuhkan ijin keluar dari pemerintah Indonesia jika ingin kembali ke Belanda. Kebanyakan dari mereka akhirnya hidup di lapisan bawah masyarakat atau dengan kata lain, dalam keadaan miskin.

Untuk menemukan para keturunan Belanda Hitam di Indonesia, tidaklah mudah. Kebanyakan dari mereka mengganti nama Belandanya dengan nama dan warga negara Indonesia. Sesuai dengan tuntutan Presiden Soekarno ketika itu. Misalnya nama Steenbergen diubah menjadi Chairul Abdul. Atas bantuan Yayasan Halin, yang mendukung keturunan Hindia-Belanda dengan uang tunjangan, Molemans menemukan dua keluarga keturunan Afrika.

Foto-foto yang ditampilkan di dalam buku tersebut, sengaja dibuat sedemikian rupa, menampilkan wajah-wajah yang jelas keturunan Belanda atau Afrika. Foto-foto yang diambil di lingkungan rumah ini, dibuat sedemikian rupa tanpa menunjukkan tingkat sosial mereka. Pada mulanya mereka menolak untuk menceritakan pengalaman hidup di Indonesia.

Ini jelas faktor yang sangat peka. Misalnya salah satu keluarga yang tinggal di Bandung, menolak di wawancara di rumah, dan memilih tempat di pinggiran kota. Keluarga ini juga sangat ragu ketika akan diambil fotonya, tetapi diyakinkan bahwa foto-foto tersebut akan dilihat keluarga mereka di Belanda, dan Amerika.

Orang-orang keturunan Belanda Hitam ini tidak malu bahwa mereka punya darah Afrika. Mereka merasa sungkan karena situasi ekonomi mereka yang cukup menyedihkan. Semuanya berpendapat apabila mereka punya kesempatan untuk pergi ke Belanda, maka mereka punya kehidupan yang jauh lebih baik. Sebagian dari mereka punya kelurga yang tinggal di Belanda, Amerika atau Kanada, di mana tingkat kehidupan jauh lebih baik dan makmur.

Situasi sekarang ini sebagian disebabkan karena mereka tidak bisa berterus-terang bahwa mereka punya darah Afrika atau Belanda. Warna kulit mereka juga membawa persoalan, misalnya sewaktu mencari pekerjaan. Menurut Griselda Molemans, dari pembicaraan jelas bahwa ini adalah soal yang sangat peka.

Keterangan buku:

'Zwarte huid, Oranje Hart'
Griselda Molemans dan Armando Ello
Disertai 150 ilustrasi foto
NUR: 688
ISBN: 978-90-89101-62-4
Terbit: Mei 2010
Penerbit: d Jonge Hond

Sumber: http://www.rnw.nl
Posted by Rifan Syambodo Categories: Label: ,


Untuk kita warga Indonesia, sejarah perbudakan mungkin terdengar asing. Banyak yang berpikir perbudakan hanya terjadi terhadap orang-orang dari Afrika saja yang dibawa ke Benua Amerika. Namun, sejarah perbudakan ternyata sangatlah dekat dengan sejarah Bangsa Indonesia.

Pada 1 Juli 1863 Belanda yang pada masa itu menjadi salah satu pedagang budak terbesar di dunia, secara resmi menghapuskan perbudakan di semua wilayah jajahannya. Tanggal 1 Juli menjadi tonggak sejarah bagi para budak Afrika yang dibawa Belanda terutama ke Suriname, bekas jajahan Belanda di Benua Amerika.

Lizzy van Leeuwen, sejarawan dari Universitas van Amsterdam menjelaskan penghapusan perbudakan di Oost Indië, atau Indonesia, secara resmi baru 100 tahun lalu. Pada waktu itu, Belanda menghapus praktek perbudakan yang diterapkan di Kepulauan Sumbawa.

Belum Terkuak

"Ini adalah sejarah yang belum terungkap dan ada kaitannya dengan sejarah perbudakan di Timur, tidak hanya di Indonesia tapi lebih luas lagi di wilayah Asia Tenggara. Sejarah perbudakan di sana mencakup jangka waktu yang sangat panjang dan meliputi berbagai bentuk perbudakan. Mengingat cakupan ini masalah perbudakan di wilayah sekitar Samudura Hindia ini sulit sekali untuk diungkap. Sedikit sekali penelitian tentang masalah ini," jelas van Leeuwen.

Berdasarkan sebuah penelitian yang dilakukan oleh sejarawan Amerika Serikat, Marcus Vink, Belanda juga menjalankan praktek perbudakan di Indonesia. Van Leeuw menjelaskan, "Jan Pieterszoon Coen membunuh semua penduduk asli Pulau Banda untuk membuka perkebunan pala. Ia kemudian membeli budak-budak dari wilayah Pulau Banda. Dari situlah dimulai praktek perdagangan budak di Indonesia."

Jelas bahwa praktek perbudakan juga terjadi di Indonesia. Menurut van Leeuwen, perbudakan sudah menjadi bagian dari sistem kemasyarakatan di berbagai wilayah di Indonesia, seperti di Sumbawa, Bali dan Toraja. Penjajah Belanda membiarkan praktek perbudakan itu terus berlangsung karena itu menguntungkan posisi mereka di wilayah jajahan.

Terlupakan

Berbeda dengan masyarakat Suriname yang sampai sekarang terus memperingati sejarah kelam perbudakan, di Indonesia hal itu sama sekali tidak terjadi. Bagaimana ini bisa dijelaskan?

Menurut van Leeuw ada beberapa penjelasan. "Alasan utama menurut saya karena orang tidak lagi merasakan dampak perbudakan di wilayah Indonesia itu secara nyata. Ini berbeda dengan situasi di Barat di mana orang bisa melihat hubungan perbudakan dengan masa kini secara jelas."

Selain itu, lanjut van Leeuwen, di wilayah Hindia Belanda, perbudakan tidak terjadi dalam skala industrial seperti yang terjadi di Suriname. Kebanyakan budak dipakai untuk keperluan rumah tangga. Tapi, bukan berarti budak di sana hidupnya lebih nyaman. Terjadi berbagai hal mengerikan, bagaimana budak-budak rumah tangga itu dihukum dengan sangat kejam. Hal itu bahkan masih terus saja terjadi sampai abad ke-20 di beberapa rumah tangga di Oost Indië.

Budak Masa Kini

Praktek perbudakan di dunia sayangnya sampai sekarang masih saja terjadi. Ironisnya, saat kita merayakan hari penghapusan perbudakan pada 1 Juli lalu di Belanda pada saat yang sama di berbagai belahan dunia masih terjadi praktek-praktek perbudakan.

Anak-anak yang dipaksa bekerja dengan kondisi yang memprihatinkan; wanita yang diperdagangkan sebagai budak seks; nasib para TKW Indonesia di Arab Saudi juga mengingatkan kita pada kejamnya praktek perbudakan. Oleh karena itu, hari penghapusan perbudakan bukan hanya untuk memperingati masa lalu tapi lebih penting untuk menjadi motivasi guna memerangi praktek-praktek perbudakan di masa kini.

Sumber: http://www.rnw.nl
Posted by Rifan Syambodo Categories: Label: ,

Bermula dari Pemerintah Kolonial yang begitu pusing menghadapi para pemberontak Nusantara. Juga Perang Aceh yang makan banyak biaya. Banyaknya korban dikalangan KNIL dalam menghadapi gerilyawan pribumi yang hanya bersenjata parang dan minim senjata api itu, maka pemerintah kolonial mencari cara mengalahkan para pemberonak.

Lalu munculah sebuah gagasan membentuk pasukan khusus yang efektif menghadapi gerilyawan. Pasukan yang beradaptasi dengan gaya perang kaum gerilyawan. Jadilah sebuah pasukan antigerilya. Jangan heran bila dalam Marsose penggunaan senjata api sangatlah minim. Prajurit Marsose lebih sering menggunakan klewang daripada karaben atau senjata api yang mereka bawa.

Sepertihalnya gerilyawan, pasukan Marsose tidak memerlukan logistik yang terlalu banyak seperti pasukan biasa. Marsose selalu hampir memasuki hutan untuk mencari para gerilyawan dan sebisa mungkin menangkap pemimpinnya—perburuan itu dilakukan selama berhari-hari.

Keberhasilan Marsose menjadi kebanggan tersendiri bagi sebagian kalangan termasuk militer Belanda—disamping kesadisannya yang juga dibenci dan membuat ngeri sebagian orang-rang Belanda sendiri. Bagaimanapun juga, pasukan ini memiliki legenda tersendiri di nusantara.

Pasukan ini dibentuk pada tanggal 20 April 1890—digolongkan oleh beberapa kalangan sebagai pasukan komando modern. Menurut Paul van’t Veer, Marsose dibentuk atas prakarsa dari Teuku Muhamad Arif, seorang Jaksa Kepala di Kutaraja, Aceh. Pastinya Teuku Muhamad Arif adalah orang Indonesia yang pro Belanda setelah pendudukan Belanda di Aceh dimulai. Dia memberi nasehat kepada Gubernur Militer Belanda di Aceh, Jenderal van Teijn juga Kepala Staf-nya J.B. van Heutsz, untuk membentuk sebuah unit-unit tempur kecil infanteri yang memiliki mobilitas tinggi. Pasukan ini tentunya pasukan anti gerilya. Pembentukan pasukan ini tidaklah sulit, tahun 1889, Komando Tentara Belanda di Aceh sudah menyusun dua detasemen pengawalan mobil yang memiliki kemampuan antigerilya.

Konsep pasukan itu lalu dimatangkan lagi hingga menjadi pasukan Marsose yang akhirnya membuktikan diri sebagai pasukan elit karena beberapa tugas berat yang sulit dilakukan serdadu KNIL biasa berhasil mereka selesaikan. Bagaimana tidak, pasukan ini adalah pasukan pilihan dari berbagai kesatuan KNIL baik pribumi maupun Eropa.

Setiap unit Marsose terdiri dari 20 orang dengan dipimpin seorang sersan Belanda yang dibantu seorang kopral pribumi. Setiap pasukan biasanya terdiri dari satu peleton yang terdiri dari 40 orang dan dipimpin seorang Letnan Belanda. Secara keseluruhan, korps Marsose terdiri dari 1.200 orang—dari berbagai bangsa. Pasukan ini, selain dipersenjatai karaben, juga dipersenjatai dengan senjata tradisional seperti klewang, rencong dan sebagainya.

Kata Marsose berasal dari kata marechaussée yang sebenarnya memiliki akar sejarah cukup panjang. Tahun 1370, dikota Paris terdapat sebuah otoritas hokum bernama Tribunal of Constables and Marshals of France. Constables dan Marshals ini lalu menjadi Gendermarie, yang menjadi kekuatan kepolisian di Belanda dan Belgia. sebuah unit kepolisian yang berakar pada masa pendudukan Perancis di Belanda. Berdasar dekrit Republik Bataaf, bentukan Perancis, dibentuklah sebuah unit kepolisian ini pada tanggal 4 Februari 1863 dengan nama marechaussée. Hal ini tidak langsung ditanggapi oleh otoritas Belanda. Tahun 1805, barulah terbentuk satu unit Gendermarie. Ketika wangsa Oranje berkuasa di Negeri Belanda, setelah Republik Bataaf tersingkir, berdasar dekrit nomor 48 tanggal 26 Oktober 1814 Marechaussée terbentuk.

Di Hindia Belanda, Marsose adalah pasukan gerak cepat dengan seragam hijau dengan tanda garis bengkok warna merah pada lengan dan leher terdapat gari merah. Dalam tugasnya, mereka dibekali senjata khas penduduk setempat, semacam klewang. Mereka memakai bedil dengan ukuran yang lebih pendek dari bedil biasa, karaben. Mereka tidak tergantung pada angkutan militer dan biasa berjalan kaki. Mereka tidak bergantung pada jalur suplai logistik.

Keberadaan Marsose di Hindia Belanda lebih berkembang sebagai pasukan tempur handal daripada pasukan polisi bersenjata seperti pendahulunya, Marechaussée, di Eropa barat. Kesamaannya di Eropa atau di Hindia Belanda, keduanya sama diseganinya. Ketika Perang Dunia II berlangsung, Marsose ikut membantu Angkatan Perang Belanda. Pasukan ini berhasil menewaskan Sisingamangaraja XII di Sumatra utara.

Marsose terdiri orang-orang Belanda, Perancis, Swiss, Belgia, Afrika, Ambon, Ambon, Menado, Jawa, juga beberapa orang Nias dan Timor. Selain karaben—senapan modern berukuran pendek—mereka juga membawa klewang dalam front Aceh dan Batak. Hal ini sangat berguna dalam perang jarak dekat, man to man, seperti yang dilakukan para gerilyawan pribumi. Marsose berusaha mengikuti gaya berperang ini karena gerilya kaum gerilyawan begitu efektif menggempur KNIL yang biasa menang dalam front besar namun repot ketiuka diserang mendadak. Pasukan ini tentunya terlatih dalam peperangan di hutan menghadapi serangan gerilyawan.

Marsose bukan pasukan tempur biasa seperti yang berkembang pada pergantian abad XIX ke XX. Marsose tidak seperti KNIL, mereka memiliki karakter sendiri dalam bertempur. Mereka tidak terlalu mengandalkan senjata api, melainkan klewang mereka untuk mengahabisi lawannya dalam jarak dekat. Marsose lebih terlihat seperti jawara dibanding tentara reguler pada umumnya. Senjata api tetap mereka pegang dan akan digunakan bila keadaan terpaksa.

Kapten Hans

Hans Christofell adalah orang yang memimpin pengejaran yang menewaskan Sisingamangaraja XII dengan bantuan prajurit Belanda dari Senegal yang sangat ahli berburu. Setelah mereka menewaskan Sisingamangaraja XII, dipedalaman Sumatra Utara, Piso Gaja Dompak, pedang pusaka yang biasa dibawa bertempur oleh Sisingamangaraja XII lalu diserahkan ke Gubernur Jenderal Hindia Belanda sebagai bukti Sisingamangaraja XII tewas ditembak seorang serdadu, asal Alfuru bernama Hamisi.

Selama Pemberontakan PKI 1926-1927 yang gagal, disamping polisi, KNIL juga ikut melakukan penumpasan. Penumpasan pemberontakan PKI di Padang dan Silungkang , Sumatra Barat, beberapa brigade Marsose pimpinan Mayor (KNIL) W.V. Rhemrev, melakukan penyiksaan sadis pada kaum pemeberontak komunis. Terjadi penjagalan dalam usaha meredam pemberontakan kaum komunis itu. Tubuh korban dirusak, kepala korban ditusuk dengan tongkat lalu diarak keliling kampung. Tujuannya tidak lain untuk menebar teror di kalangan penduduk biasa. Berita kesadisan Marsose itu terdengar sampai di Eropa tanpa dapat disangkal.

Marsose, dalam banyak catatan, lebih banyak melakukan tugasnya sebagai pasukan kontra-gerilya di Aceh dan Tanah Batak. Dua daerah itu sangatlah sulit dikuasai pemerintah kolonial hingga awal abad XX. Marsose dalam jumlah besar dibutuhkan disana untuk waktu tugas yang lama. Bahkan setelah perang melawan orang-orang Batak di Pedalaman Sumatra dan Aceh itu berakhir, perlawanan kecil kadang masih terjadi. Seperti dialami bekas komandan Marsose, Letnan Kolonel W.B.J.A Scheepens, yang tertusuk rencong orang Aceh.

Marsose sebenarnya tidak hanya ditugaskan di dua daerah itu, tapi juga dibeberapa tempat seperti di kepulauan Nusa Tenggara juga Sulawesi—walau dengan personil yang tidak terlalu banyak. Cerita kekejamana pasukan Marsose lebih banyak didengar di Aceh saja dan tanah Gayo saja.

Kolone Macan

Kehadiran Marsose sebagai pasukan khusus yang sedemikian handal itu, rupanya masih dirasa belum cukup oleh petinggi militer Belanda. Perwira-pwerwira Belanda itumembentuk lagi sebuah unit didalam pasukan Marsose bernama Kolone Macan. Seperti halnya Marsose, Kolone Macan juga dipimpin oleh perwira-perwira dari orang-orang Eropa. Salah satunya adalah perwira asal Swiss bernama Hans Christofell. Dia sangat tersohor karena berjasa kepada pemerintah kolonial dalam peperangan di Sumatra bagian utara itu. Dia membentuk pasukan khusus baru lagi, dimana anggotanya adalah anggota-anggota Marsose yang terpilih.

Ada perwira Marsose yang lebih tinggi pangkatnya dibanding Christoffel, Kapten Scheepens. Setelah lewati berbagai pertimbangan, pembuat kebijakan militer Belanda sampai pada kesimpulan, pekerjaan algojo yang sadistis tidaklah cocok bagi Scheepens—walaupun Scheepens tergolong orang bersedia mengerjakan tugas militer yang berat sekalipun seperti bertempur berhari-hari dalam hutan. Dimata pembuat kebijakan itu, Christoffel dianggap lebih cocok untuk memimpin sekelompok algojo. Akhirnya Christoffel diberangkatkan ke Cimahi—dimana berdiri sebuah garnisun pasukan Belanda disana. Disini Christoffel berttemu dengan banyak Marsose kawakan dan memiliki pengalaman bertempur di Aceh. Keberadaan mereka di Cimahi adalah dalam rangka istirahat setelah peperangan berat di Aceh selama berbulan-bulan.

Dia menghimpun anggota Marsose yang beringas, jago berkelahi. Pasukan ini dinamakan Kolone Macan. Pasukan ini dilatih oleh Christoffel di Garnisun Cimahi. Pakaian mereka berwarna hijau kelabu yang kerah bajunya terdapat dua lambing jari berdarah. Tentu saja ikat leher warna merah agar nampak lebih lebih menyeramkan. Mereka dikenal sebagai pasukan yang menyeramkan dengan julukan ‘pembunuh berdarah dingin’.

Setelah beristirahat dalam waktu yang lama, para Marsose itu merasa ingin kembali berperang di Aceh lagi. Dunia Marsose jelas bukan dunia tangsi yang damai, dunia mereka adalah peperangan dalam hutan, seperti di Aceh. Selama di tangsi Cimahai yang damai itu, para Marsose itu juga diberikan teori peperangan, namun hal itu kurang direspon pleh marsose yang berpendidikan rendah. Mereka tidak butuh teori dalam peperangan, melainkan pertempuran. Wajar bila teori perang itu tidak sekalipun dicerna prajurit Marsose. Mereka lebih tahu dan senang bertempur. Rutinitas lain yang mereka benci di tangsi adalah beberapa kali dalam sehari harus apel. Latihan marsose bukanlah menembakan senapan, melainkan memainkan klewang.

Di Cimahi, Christoffel mengamboil beberapa komandan brigade—yang biasanya berpangkat sersan—terbaik Marsose. Mereka yang bosan hidup di garnisun jelas menjadi prioritasnya. Pasukan ini terdari dari 12 brigade marsose yang sudah dilatih lagi di Cimahi. Betapa terlatihnya mereka sekarang. Barisan depan pasukan Kolene Macan adalah para Marsose jejaka. Jelas mereka bisa lebih leluasa bertempur karena tidak akan memikirkan anak istrinya.

Cara kerja pasukan ini lebih kejam dari Marsose sebelumnya. Mereka melakukan eksekusi ditempat. Hal ini tergolong gila, seperti yang dirasakan salah seorang komandan Marsose Schriwanek. Walau dia tergolong kasar, namun dia melihat cara kerja Kolone Macan, dirasa oleh perwira itu, benar-benar keterlaluan ketika melakukan Sweeping. Mereka membersihkan gerakan gerilyawan perlawanan rakyat dengan kejam sejak dari dataran rendah. Mereka lakukan kerja mereka dengan singkat dan tuntas.

Reaksi keras atas cara kerja Kolone Macan muncul juga dari kalangan militer Belanda sendiri. Peperangan yang mereka jalankan di Aceh terbilang keterlaluan. Reaksi ini datang dari perwira Belanda yang bukan berlatar belakang dari tentara bayaran. Akhirnya komando atas daerah Aceh dirubah dari van Daalen kepada Swart. Karena hal pergantian komando itu, cara kejam Kolone Macan perlahan dihilangkan. Pasukan yang pernaha dilatih dan dipimpin oleh Christoffel itu kemudian beralih komando pada van der Vlerk. Komandan baru ini, seperti tuntutan sebagian perwira Belanda yang benci kebengisan van Daalen dan Christoffel, mulai merubah sifat pasukan Kolone Macan. Pasukan ini lama-lama menghilang dan hanya menjadi Marsose biasa.

Kolone Macan adalah bagian terkejam dari korps bernama Marsose dan hanya terjun di front Aceh saja. Pemerintah Kolonial rupanya tidak menginginkan adalah sepasukan algojo terorganisir, bagi pemerintah kolonal, cukup hanya marsose saja pasukan terkejam yang mereka miliki. Bagaimanapun perlawanan terhadap kebijakan kolonial tidak bisa ditebak kapan terjadinya dan inilah alasan mengapa Marsose terus dipertahankan walaupun perannya semakin meredup sinarnya. Marsose tidak terdengar kehebatannya lagi ketika Jepang mendarat di Indonesia. akhir sejarahnya mungkin saat perang Aceh saja lalun hilang adan tanpa terlihat taringnya yang tajam seperti pada Perang Aceh.

Cerita-cerita Marsose Pribumi

Walau, Marsose pasukan elit, bukan berarti pasukan ini hanya terdiri orang Belanda maupun Eropa lain. Banyak orang pribumi yang menjadi anggota Marsose. Orang pribumi bahkan bisa menjadi Marsose yang baik dibanding orang-orang Eropa yang menjadi serdadu KNIL umumnya tidak bisa menyesuaikan diri dengan iklim tropis. Banyak diantara Marsose adalah orang-orang dengan kemampuan seperti jawara yang ada di Banten yang ahli dalam berkelahi.

Satu dari banyak anggota Marsose pribumi yang cukup diakui jasanya adalah W.C. Ferdinandus. W.C. Ferdinandus adalah pemuda kelahiran 19 Februari 1883 di Haruku, Saparua. Seperti banyak pemuda disana yang ingin bertualang sebagai serdadu KNIL, Ferdinandus pada tanggal 1 Maret 1906 mendaftarkan diri sebagai KNIL di Ambon—teeken soldadu istalahnya pada waktu itu.

Pagi hari tanggal 12 Desember 1908 di Dondo—sebuah daerah di Nusa tenggara Barat sekarang ini—sekelompok Marsose bergerak. Salah satu dari mereka adalah W.C. Ferdinandus bergerak dibawah komando dari Letnan Satu de Vries untuk menyerang markas pemberontak di pantai utara. Marie Langa, pimpinan pemberontak itu membangun kubu pertahanan didekat Watoe Ngere. W.C. Ferdinandus adalah salah satu dari sekian banyak pasukan dari Letnan Satu De Vries. Pasukan yang dipimpin De Vries itu terdiri dari tiga brigade Marsose dengan kekuatan 50 karaben. Dan sekelompok strapan yang terdiri dari tiga puluh orang.

Pasukan beserta strapannya itu berangkat ke Nio Panda, mereka tiba pukul 2 sore. Mereka beristirahat, sebelum bergerak pada pukul 22.00 malam. Malam itu, De Vries, memimpin pasukannya mengintai benteng musuh itu dari atas. Dalam kegelapan malam mereka bergerak. Mereka melintasi jalan yang berat dan terjal. Mereka mencapai daerah tujuan mereka denganm susah payah dan dari jauh mengintai lawan mereka dalam kegelapan malam itu.

Pada pukul 8 pagi, 12 Desember 1908, Letnan Satu de Vries membagi tiga pasukannya, satu pasukan dibawah sersan van Rijen, satu pasukan dibawah pimpinan sersan Ambon dan satu pasukan lagi dibawah pimpinan Kopral Katuuk. Ketiga pasukan itu bergerak mengelilingi benteng diam-diam. W.C. Ferdinandus adalah Marsose pertama yang menaiki benteng. Didalam benteng, W.C. Ferdinandus dan penyerang lain berhasil menembak tiga musuh dalam benteng dan membuat gerilyawan lain melarikan diri ke utara, sementara itu di utara sudah menunggu pasukan pimpinan Kopral Katuuk. Akhir dari serangan itu adalah, beberapa musuh melarikan diri dan benteng direbut. Majalah Trompet juga pernah menampilkan profil salah prajurit marsose lain, salah satunya dalah Robert Talumewo. Pemuda dari Langoan kelahiran 11 September 1882 dan teeken soldadu pada 6 Agustus 1904 di Manado. Karena keberaniannya ketika menjadi serdadu reguler biasa di KNIL, dia akhirnya dimutasikan ke Marsose.

Ada Marsose Jawa bernama Redjakrama. Pemuda kelahiran Kedungwaru, Bagelen—Kabupaten Purworejo sekarang—tahun 1867. Diusianya yang ke-18, tahun 1885 dia teeken soldadu di Gombong. Setehun kemudian Redjakrama dikirim ke Aceh untuk pertama kalinya. Tahun 1887 Redjakrama ditempatkan di Sulawesi. Tanggal 21 Desember 1888, Redjakrama resmi menjadi kopral dan 2 Oktober 1890 sudah menjadi seorang sersan. Sebuah prestasi hebat untuk seorang pemuda kampung yang tidak terpelajar macam dirinya. Pada 2 Oktober 1901, Redjakrama dimutasikan ke Marsose. Sebagai Marsose Redjakrama telah menunjukan keberaniannya—seperti yang dimuat dalam majalah Trompet. Pada 26 Juni 1904, Sersan Redjakrama ditugaskan di daerah Beureuleueng, Pidie—Nangroe Aceh Darussalam sekarang.

“Sementara berkelahi ini, maka satu bahagian dari kumpulan musuh darai Pang Andah tahan sekuat-kuatnya didalam dua rumah dari sini mereka pasang pada Marsose. Cuma dengan pendek saja, pasangan dari musuh dibalas oleh Marsose, lantas Marsose tarik jatuh dinding dari kedua rumah. Ini pekerjaan dikerjakan oleh brigade, dimana terdapat sesan Redjakrama yang telah enam bulan lamanya pegang komando dari brigade ini yang telah menunjuk gagah beraninya. Ini onderofficer biasa terdapat ditempat-tempat yang ada dan sikapnya ada satu contoh yang bagus buat soldadu-soldadu. Yang perlu sabar dan tiada hilang otak sehat, sebab brigade terdiri dihadapan musuh yang tahan dengan sekuat-kuatnya dirumah-rumah dimana seperti dekking, musuh memakai karung-karung dengan beras. Contoh yang gagah berani dari sesan Redjakrama yang pertama kali masuk rumah, ada sebegitu rupa sehingga dituruti oleh brigade, yang bikin kalah musuh dan sesungguh-sungguhnya.”

Cerita keberanian yang juga dimuat di Majalah Trompet adalah Simon Leiwakabessy. Ia pensiunan kopral yang tinggal di Ambon. Leiwakabessy lahir di Tial, Ambon pada 25 Januari 1870 dan teeken soldadu di Ambon pada 8 Maret 1894. sebelum ditempatkan di Marsose, Leiwakabessy termasuk anggota pasukan dari Batalyon 3 yang beberapa kali pindah tugas dibeberapa tempat di Indonesia.

“Overvalling musuh disebelah selatan dari Cot Bamboton (Troeseb Pidie) pada tanggal 24 Agustus 1903. Agar supaya menyemu musuh, maka keluarlah Letnan Darlang pada tanggal 24 Agustus jam 3 pagi dari Didok dengan satu brigade ke selatan dari Troeseb yang terdapat di terrain yang berbukit-bukit. Yang lain brigadenya mendapat opdract pada jam 7 pagi marsch ke lapang, disebelah dari kaki utara dari bukit-bukit dan disana diajak musuh dengan vurren yang biasa dari pihak itu mereka pasang pada compagnie. Waktu pagi hari, maka Letnan Darlang 2 orang Aceh Aceh disatu cot boleh jadi ini 2 orang ada Wachtpost dari musuh. Dengan tiada diketahui oleh musuh, maka brigadenya Letnan Darlang di itu bukit dan dengan ati-ati naik keatas. Sampai dekat diatasnya bukit, maka kelihatan 10 orang Aceh, yang ada tidur ditanah. Tempo satu dari diantara musuh bangun dan berdiri dan tunggu lama tiadalah baik, bertentangan dengan mereka boleh lihat di compagnie maka Darlang dan beberapa Marsose-nya storm pada musuh. Marsose Leiwakabessy yang oleh sebab kurang kader dan juga oleh sebab gagah berani-nya dan cepat biasanya ditunjuk seperti komandan dari spits lari kemuka dengan lewati 2 temannya dan sekonyong-konyong berada ditengah-tengah dari musuh yang lari. 2 orang musuh ditembak mati oleh Leiwakabessy. Tempo Leiwakabessy lihat, bahwa lain-lain musuh lari kebawah, maka dengan beberapa temannya dari spits ia ambil jalan pendek dan potong pas dari musuh. Dengan ini, maka ia tembak lagi 4 orang musuh mati. Oleh sebab gagah beraninya dari Leiwakabessy, maka jatuh didalam tangan kita 6 orang musuh dengan senjata-senjatanya, 3 beamont dan 3 senapan voorlaad.”

Stephanus Melfibossert Anthony pemuda kelahiran 3 Juni 1872 di Ambon dan teeken Soldadu tanggal 27 Agustus 1890 di Ambon. S.M. Anthony terpilih untuk dimasukan ke korps Marsose pada 13 April 1897 lalu terlinbat dalam ekspedisi militer KNIL di beberapa tempat seperti Aceh, Timor juga Sulawesi Selatan. Dia memiliki cerita keberaniannya sebagai seorang Marsose dalam benteng Sala Banga di daerah Mandar, Sulawesi Selatan. Peristiwa oitu terjadi pada 20 Oktober 1914.

“Waktu bestorming benteng tersebut, maka naiklah kopral Anthony, biarpun musuh tahan dengan begitu kuat dan lawan pada compagnie dengan gagah berani stormladder dan biasa pertama dimuka waktu bongkar rintangan-rintangan dimana pekerjaan ini menuntut banyak kekuatan. Sesudahnya dengan banyak susah pekerjaan lamanya satu setengah jam dikerjakan dan satu lubang diborstwering dibikin, maka dengan segera Anthony storm kemuka dengan lagti 3 militairen lain kedalam benteng. Sesudahnya itu ia pasang pada musuh yang dekat padanya, sehingga mereka tiada bisa apa lagi, sehingga troep dibelakang bisa mendapat kesempatan ke borstwering.”

Masih banyak lagi cerita heroik yang menggambarkan keberanian para Marsose pribumi—dimata masyarakat kolonial—yang termuat di majalah Trompet. Marsose-marsose pribumi tadi telah membuktikan bahwa dirinya adalah seorang prajurit yang membela bendera Ratu Belanda. Bagaimanapun, Marsose pribumi adalah bagian penting dalam korps Marsose, dari segi jumlah pastinya lebih banyak dan sebagai prajurit rendahan mereka siap melakukan hal-hal berat yang mungkin saja tidak mau dilakukan oleh perwira maupun bintara Belanda. Sebagai prajurit mereka siap untuk melawan siapa saja yang menajdi musuh ratu Belanda di Hindia Belanda. Mereka tidak takut melawan siapa saja termasuk gerilyawan di Aceh. Perang Aceh dan gerilyawannya yang tidak kenal menyerah adalah bagian terpenting dalam sejarah Marsose selain korps dan anggota Marsose itu sendiri.

Disarikan dari buku Pasukan Komando: Pengukir Sejarah Indonesia (Media Pressindo, Yogyakarta, 2008)

Sumber: http://sejarah.kompasiana.com/2010/10/23/marsose-oh-marsose/
Posted by Rifan Syambodo Categories: Label: ,

Hamid Karzai barangkali hanya menunggu waktu datangnya ajal. Mungkin lama, dan mungkin sebentar. Taliban semakin menunjukkan kemampuannya. Menghancurkan sekutu-sekutu Amerika Serikat. Orang-orang yang menjadi kunci di pemerintahan Hamid Karzai, satu-satu tewas.

Karzai kehilangan saudara tirinya, Ahmed Wali Karzai, yang menjadi Gubernur Kandahar, tempat kelahiran Mullah Omar, pendiri dan pemimpin Taliban.

Wali Karzai yang sejatinya orang yang paling kuat di Afghanistan, dan menjadi penentu semua kebijakan yang mempunyai hubungan dengan Amerika Serikat. Semuanya berada di tangan Wali Karzai. Bukan di tangan Presiden Hamid Karzai.

Wali Karzai memegang kendali wilayah yang paling berkecamuk, Kandahar. Di Kandahar pula, seorang agen ganda yang menjadi warga negara Yordania, membunuh sembilan agen dan pimpinan CIA.

Hanya berselang dalam hitungan hari, Taliban membunuh orang yang paling dekat dan menjadi penasehat utama Hamid Karzai, yaitu Jan Muhammad Khan. Jan Muhammad Khan, selama ini merupakan orang kepercayaan Hamid Karzai, dan selalu memberikan nasehat, dan melatar belakangi kebijakannya. Jan Muhammad Khan adalah tokoh yang berasal dari suku Pashtun. Suku terbesar di Afghanistan.

Peristiwa pembunuhan yang beruntun itu, kemudian menimbulkan pertanyaan baru, apakah kekuasaan Hamid Karzai akan runtuh sebelum penarikan pasukan tempur Barat, pada 2014 nanti?

Sangat sulit bisa dipahami. Bagaimana Ahmad Wali Karzai Gubernur Kandahar, yang mendapatkan pengawalan berlapis-lapis itu tewas? Justeru tewasnya Wali Karzai bukan dengan bom bunuh diri, tetai di tembak oleh pengawalnya sendiri. Hingga tewas.

Bagaimana Taliban dengan sangat akurat dapat membunuh Wali Karzai? Sungguh ini luar biasa. Kemampuan Taliban yang tidak dapat lagi dideteksi oleh intelijen CIA dan Nato.Taliban berhasil menewaskan orang-orang yang menjadi pendukung Amerika dan Nato di negeri itu. Taliban berhasil menyusup di sekitar kekuasaan.

Begitu pula Taliban melakukan serangan dadakan yang sangat jitu dan akurat, tanpa dapat di deteksi oleh agen-agen intelijen Afghanistan, dan CIA. Serangan dadakan itu telah menewaskan orang yang paling penting di sisi Presiden Ahmad Karzai yaitu Jan Muhammad Khan.

Jan Muhammad tewas hanya oleh dua orang bersenjata yang menyerbu kompleks yang mendapatkan penjagaan begitu ketat, di Kabul pada Minggu malam. Dua pejuang Taliban itu, bukan hanya membunuh Jan Muhammad, tetapi menyandera orang-orang yang ada didalam geudng, dan terjadi pertempuran, hingga Senin pagi. Para pejuang Taliban itu, juga menembak mati seorang anggota parlemen dari provinsi Uruzgan, sebelum akhirnya bunuh diri.

Pembunuhan dua panglima perang yang kuat, yang dulu tampaknya tak tergoyahkan, telah menimbulkan kejutan luas.

Ahmed Behsad Shan, seorang anggota parlemen Uruzgan, mengatakan: "Pembunuhan ini menunjukkan kelemahan dan kegagalan politik Karzai Situasi.Karzai menghadapi krisis dan telah kehilangan kontrol negara..."

Taliban mengaku bertanggung jawab atas pembunuhan Ahmed Wali Karzai. Wali Karzai, saudara tiri Presien Karzai ditembak pada jarak dekat oleh kepala keamanannya sendiri di rumahnya di Kandahar. Ini hanya menggambarkan bagaimana Taliban berhasil menyusup di lingkaran pusat-pusat kekuasaan. Kepala keamanan itu adalah "agen" Taliban di Pakistan.

Ahmed Wali adalah orang terdekat dan pendukungan kuat Presiden Karzai yang menguasai willayah Kandahar. Khan digambarkan sebagai seorang ayah pengganti bagi saudara Karzai, dan ia memegang kekuasaan yang sama di Uruzgan.

Kedua tokoh yang sudah tewas di tangan Taliban itu, Wali Karzai dan Jan Muhammad Khan, merupakan panglima perang yang telah membangun kekuasaan mereka, sejak perang berkecamuk di Afghanistan. Pasukan Barat telah mengandalkan mereka untuk membantu memerangi Taliban. Ahmed Wali adalah perwira paramiliter dari "Strike Force" Kandahar, yang bekerjasama dengan pasukan khusus NATO dan CIA.

Khan, yang menjadi penasehat utama Presiden Karzai, berasal dari suku Popolzai, dan telah meninggalkan Uruzgan pada tahun 2006 atas desakan pasukan Belanda. Namun pengaruhnya tetap bertahan. Keponakannya, Matiullah, tokoh kunci yang juga memimpin pasukan di Uruzgan yang membantu memerangi Taliban dan melindungi konvoi NATO. Khan diyakini telah membantu AS memerangi pejuang Taliban.

Thomas Ruttig Jaringan Analis Afghanistan berbasis di Kabul menulis: "Dengan saingannya, Jan Muhammad Khan terkenal sangat kejam. Dia menyebut Taliban sebagai penjahat, dan mengirimkan pasukan khusus memerangi mereka dengan dukungan pemerintah pusat. Dia dikenal, 'sebagai seorang pemburu Taliban yang efektif. "

Dua bulan lalu sekutu Karzai kunci di Utara, kepala polisi Muhammad Daoud Daoud, tewas di provinsi Takhar oleh pembom bunuh diri Taliban, yang menyusup dalam sebuah pertemuan antara para pejabat lokal dan pejabat NATO.

Serentetan pembunuhan terhadap tokoh-tokoh puncak dalam pemerintahan Karzai yang merupakan struktur kekuasaan informal negara - secara kumulatif, pengamat mengatakan, pembunuhan itu melemahkan kekuatan politik Hamid Karzai dan merusak kemampuannya untuk menghadapi serangan Taliban.

Gerard Russell, seorang mantan diplomat Inggris untuk Afghanistan, mengatakan: "Keseimbangan kekuatan sedang berubah. Kaum radikal tidak lama lagi akan menguasai Afghistan. Pemerintah pusat kehilangan masa depan untuk tetap memegang otoritas kekuasaannya.

Sasaran Taliban telah memporak-porandakan jaringan kekuasaan Hamid Karzai. Tidak ada jaminan lagi bahwa Karzai akan tetap dapat bertahan pasca 2001", lujar Gerard. Kondisi keamanan Afghanistan sangat memburuk. Karzai diujung ajalnya. Tidak ada lagi yang dapat melindungi dan menjaganya.

Kekuatan Taliban telah menyusup ke seluruh jaringan elemen negara. Di mana Amerika Serikat dan Eropa tidak mampu mengantisipasi gerakan Taliban.

Membunuh Khan bertepatan dengan perginya Jenderal David Petraeus, arsitek strategi militer NATO di Afghanistan, dan selanjutnya menjadi Direktur CIA di Washington. Pembunuhan terhadpa Jan Muhammad Khan itu berlangsung hanya beberapa jam setelah upacara penyerahan tongkat komando kepada penggantinya, hari Senin.

Transisi ini akan selesai pada akhir 2014, ketika semua pasukan tempur barat telah meninggalkan Afghanistan. Namun, beberapa pengamat mengatakan bahwa serentetan pembunuhan keluarga dan orang dekat Karzai menimbulkan keraguan bahwa kekuasaan Presiden akan dapat bertahan.

"Hal terbesar adalah dampak psikologis terhadap Karzai yang kehilangan dua orang terdekatnya," kata Ruttig. "Dalam sistem di Afghanistan yang sangat berbasis patronase, bahwa Karzai tidak mampu melindungi sekutu terdekatnya akan memiliki konsekuensi yang berat.

Mungkin sesudah Taliban berhasil mengahabisi dua orang dekat Hamid Karzai, Ahmed Karzai, dan Jan Muhammad Khan, suatu saat akan tiba gilirannya bagi Hamid Karzai, yang akan menyusul dua pendahulunya.

Inilah akhir cerita dari para boneka Amerika Serikat. Tidak ada lagi yang menyakini Hamid Karzai akan mampu bertahan hidup dengan kekuasaannya. (mah)

Sumber: http://www.eramuslim.com
  • RSS
  • Facebook
  • Twitter
  • Promote Your Blog

Recent Posts

Recent Comments