Rabu, 27 April 2011

Insiden Dili, 12 November 1991

Timor Timur adalah bagian dari sejarah bangsa Indonesia, kita rasanya tidak akan pernah lupa bagaimana Timor Timur dulu pernah menjadi sebuah provinsi di Indonesia, yaitu provinsi ke 27. Timor Timur berintegrasi dengan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia setelah dijajah selama 450 tahun oleh Portugal. Sebagai sebuah provinsi, Timor Timur atau lebih dikenal sebagai Timtim sempat mempunyai 4 orang Gubernur sebelum melepaskan diri sebagai negara yang berdaulat berdasarkan jajak pendapat yang diadakan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) pada tahun 1999.

Keempat Gubernur tersebut adalah : Arnaldo dos Reis Araujo (1976 - 1978), Guilherme Maria Goncalves (1978 - 1982), Mario Viegas Carrascalao (1983 - 1992) dan Abilio Jose Osorio Soares (1992 - 1999).

Insiden Dili atau Insiden Santa Cruz' terjadi pada saat masa kepemimpinan Gubernur Mario Viegas Carrascalao yang terjadi pada tanggal 12 November 1991 di pemakaman Santa Cruz' di ibu kota Dili.

Saat itu para pemrotes seperti yang ditulis di wikipedia indonesia, kebanyakan mahasiswa, mengadakan aksi protes mereka terhadap pemerintahan Indonesia pada penguburan rekan mereka, SebastiĆ£o Gomes, yang ditembak mati oleh pasukan Indonesia sebulan sebelumnya. Para mahasiswa telah mengantisipasi kedatangan delegasi parlemen dari Portugal, yang masih diakui oleh PBB secara legal sebagai penguasa administrasi Timor Timur. Rencana ini dibatalkan setelah Jakarta keberatan karena hadirnya Jill Joleffe sebagai anggota delegasi itu. Joleffe adalah seorang wartawan Australia yang dipandang mendukung gerakan kemerdekaan Fretilin.

Dalam prosesi pemakaman, para mahasiswa menggelar spanduk untuk penentuan nasib sendiri dan kemerdekaan, menampilkan gambar pemimpin kemerdekaan Xanana Gusmao. Pada saat prosesi tersebut memasuki kuburan, pasukan Indonesia mulai menembak. Dari orang-orang yang berdemonstrasi di kuburan, 271 tewas, 382 terluka, dan 250 menghilang. Salah satu yang meninggal adalah seorang warga Selandia Baru, Kamal Bamadhaj, seorang pelajar ilmu politik dan aktivis HAM berbasis di Australia.

Pembantaian ini disaksikan oleh dua jurnalis Amerika Serikat, Amy Goodman dan Alan Nairn, dan terekam dalam pita video oleh Max Stahl, yang diam-diam membuat rekaman untuk Yorkshire Television di Britania Raya. Para juru kamera berhasil menyelundupkan pita video tersebut ke Australia. Mereka memberikannya kepada seorang wanita Belanda untuk menghindari penangkapan dan penyitaan oleh pihak berwenang Australia, yang telah diinformasikan oleh pihak Indonesia dan melakukan penggeledahan bugil terhadap para juru kamera itu ketika mereka tiba di Darwin. Video tersebut digunakan dalam dokumenter First Tuesday berjudul In Cold Blood: The Massacre of East Timor, ditayangkan di ITV di Britania pada Januari 1992.

Tayangan tersebut kemudian disiarkan ke seluruh dunia, hingga sangat mempermalukan permerintahan Indonesia. Di Portugal dan Australia, yang keduanya memiliki komunitas Timor Timur yang cukup besar, terjadi protes keras.

Banyak rakyat Portugal yang menyesali keputusan pemerintah mereka yang praktis telah meninggalkan bekas koloni mereka pada 1975. Mereka terharu oleh siaran yang melukiskan orang-orang yang berseru-seru dan berdoa dalam bahasa Portugis. Demikian pula, banyak orang Australia yang merasa malu karena dukungan pemerintah mereka terhadap rezim Soeharto yang menindas di Indonesia, dan apa yang mereka lihat sebagai pengkhianatan bagi bangsa Timor Timur yang pernah berjuang bersama pasukan Australia melawan Jepang pada Perang Dunia II.

Meskipun hal ini menyebabkan pemerintah Portugal meningkatkan kampanye diplomatik mereka, bagi pemerintah Australia, pembunuhan ini, dalam kata-kata menteri luar negeri Gareth Evans, 'suatu penyimpangan'.

Pembantaian ini (yang secara halus disebut Insiden Dili oleh pemerintah Indonesia) disamakan dengan Pembantaian Sharpeville di Afrika Selatan pada tahun 1960, yang menyebabkan penembakan mati sejumlah demonstran yang tidak bersenjata, dan yang menyebabkan rezim apartheid mendapatkan kutukan internasional.

Kejadian ini kini diperingati sebagai hari raya nasional oleh negara Timor Leste yang merdeka. Tragedi 12 November ini dikenang oleh bangsa Timor Leste sebagai salah satu hari yang paling berdarah dalam sejarah mereka, yang memberikan perhatian internasional bagi perjuangan mereka untuk merebut kemerdekaan.
Sejarah memang tidak akan pernah hilang, apalagi sejarah buruk suatu bangsa. Namun hal itu bisa dijadikan bahan renungan agar tidak akan pernah terjadi lagi. Cag !

Sumber: http://indonesiakemarin.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar