Previous Next
  • Perang Teluk

    Invasi Irak ke Kuwait disebabkan oleh kemerosotan ekonomi Irak setelah Perang Delapan Tahun dengan Iran dalam perang Iran-Irak. Irak sangat membutuhkan petro dolar sebagai pemasukan ekonominya sementara rendahnya harga petro dolar akibat kelebihan produksi minyak oleh Kuwait serta Uni Emirat Arab yang dianggap Saddam Hussein sebagai perang ekonomi serta perselisihan atas Ladang Minyak Rumeyla sekalipun pada pasca-perang melawan Iran, Kuwait membantu Irak dengan mengirimkan suplai minyak secara gratis. Selain itu, Irak mengangkat masalah perselisihan perbatasan akibat warisan Inggris dalam pembagian kekuasaan setelah jatuhnya pemerintahan Usmaniyah Turki. Akibat invasi ini, Arab Saudi meminta bantuan Amerika Serikat tanggal 7 Agustus 1990. Sebelumnya Dewan Keamanan PBB menjatuhkan embargo ekonomi pada 6 Agustus 1990...

  • 5 Negara yang Terpecah Akibat Perang Dunia II

    Negara yang terpecah adalah sebagai akibat Perang Dunia II yang lalu di mana suatu negara diduduki oleh negara-negara besar yang menang perang. Perang Dingin sebagai akibat pertentangan ideologi dan politik antara politik barat dan timur telah meyebabkan negara yang diduduki pecah menjadi dua yang mempunyai ideologi dan sistem pemerintahan yang saling berbeda dan yang menjurus pada sikap saling curiga-mencurigai dan bermusuhan. Setelah perang dunia kedua, terdapat empat negara yang terpecah-pecah, antara lain:

  • Serangan Sultan Agung 1628 - 1629

    Silsilah Keluarga Nama aslinya adalah Raden Mas Jatmika, atau terkenal pula dengan sebutan Raden Mas Rangsang. Dilahirkan tahun 1593, merupakan putra dari pasangan Prabu Hanyokrowati dan Ratu Mas Adi Dyah Banowati. Ayahnya adalah raja kedua Mataram, sedangkan ibunya adalah putri Pangeran Benawa raja Pajang. Versi lain mengatakan, Sultan Agung adalah putra Pangeran Purbaya (kakak Prabu Hanyokrowati). Konon waktu itu, Pangeran Purbaya menukar bayi yang dilahirkan istrinya dengan bayi yang dilahirkan Dyah Banowati. Versi ini adalah pendapat minoritas sebagian masyarakat Jawa yang kebenarannya perlu untuk dibuktikan. Sebagaimana umumnya raja-raja Mataram, Sultan Agung memiliki dua orang permaisuri. Yang menjadi Ratu Kulon adalah putri sultan Cirebon, melahirkan Raden Mas Syahwawrat. Yang menjadi Ratu Wetan adalah putri dari Batang keturunan Ki Juru Martani, melahirkan Raden Mas Sayidin (kelak menjadi Amangkurat I)...

  • Perang Dingin

    Perang Dingin adalah sebutan bagi sebuah periode di mana terjadi konflik, ketegangan, dan kompetisi antara Amerika Serikat (beserta sekutunya disebut Blok Barat) dan Uni Soviet (beserta sekutunya disebut Blok Timur) yang terjadi antara tahun 1947—1991. Persaingan keduanya terjadi di berbagai bidang: koalisi militer; ideologi, psikologi, dan tilik sandi; militer, industri, dan pengembangan teknologi; pertahanan; perlombaan nuklir dan persenjataan; dan banyak lagi. Ditakutkan bahwa perang ini akan berakhir dengan perang nuklir, yang akhirnya tidak terjadi. Istilah "Perang Dingin" sendiri diperkenalkan pada tahun 1947 oleh Bernard Baruch dan Walter Lippman dari Amerika Serikat untuk menggambarkan hubungan yang terjadi di antara kedua negara adikuasa tersebut...

  • Perang Kamboja-Vietnam

    Pada tahun-tahun terakhir menjelang kejatuhan saigon tahun 1975, negara-negara anggota ASEAN mencemaskan kemungkinan penarikan mundur pasukan Amerika Serikat dari Asia Tenggara. Ketegangan terus memuncak mengingat ASEAN adalah negara-negara Non-Komunis sedangkan negara-negara Indochina adalah negara komunis. Kemenangan Vietnam pada Perang Vietnam sudah tentu mengkhawatirkan ASEAN ditengah rencana Amerika Serikat untuk mengurangi kehadiran pasukannya yang selama ini secara tak langsung melindungi ASEAN dari invasi komunis ke kawasan tersebut...

Posted by Rifan Syambodo Categories: Label: ,

Perang Yom Kippur, dikenal juga dengan nama Perang Ramadan atau Perang Oktober (Hebrew: מלחמת יום הכיפורים; dalam huruf latin: Milkhemet Yom HaKipurim or מלחמת יום כיפור, Milkhemet Yom Kipur; arab: حرب أكتوبر‎; dalam huruf latin: ħarb October atau حرب تشرين, ħarb Tishrin) adalah perang yang terjadi pada tanggal 6 - 26 Oktober 1973 antara pasukan Israel melawan koalisi negara-negara arab yang dipimpin oleh Mesir dan Suriah.

Tentara Mesir menyebrangi Terusan Suez.
Tentara Mesir menyebrangi Terusan Suez.

Pada tanggal 6 Oktober 1973, pada hari Yom Kippur, hari raya Yahudi yang paling besar, ketika orang-orang Israel sedang khusyuk merayakannya, yang juga bertepatan dengan bulan Ramadan bagi ummat Islam sehingga dinamakan "Perang Ramadan 1973", Suriah dan Mesir menyerbu Israel secara tiba-tiba. Jumlah tentara invasi sungguh besar. Di dataran tinggi Golan, garis pertahanan Israel yang hanya berjumlah 180 tank harus berhadapan dengan 1400 tank Suriah. Sedangkan di terusan Suez, kurang dari 500 prajurit Israel berhadapan dengan 80.000 prajurit Mesir.

Mesir mengambil pelajaran pada Perang Enam Hari pada tahun 1967 tentang lemahnya pertahanan udara sehingga saat itu 3/4 kekuatan udara mesir hancur total sementara Suriah masih dapat memberikan perlawanan. Sadar bahwa armada pesawat tempur Mesir masih banyak menggunakan teknologi lama dibandingkan Israel, Mesir akhirnya menerapkan strategi payung udara dengan menggunakan rudal dan meriam anti serangan udara bergerak yang jarak tembaknya dipadukan. Walhasil strategi ini ampuh karena angkatan udara Israel akhirnya kewalahan bahkan banyak yang menjadi korban karena berusaha menembus "jaring-jaring" pertahanan udara itu.

Pada permulaan perang, Israel terpaksa menarik mundur pasukannya. Tetapi setelah memobilisasi tentara cadangan, mereka bisa memukul tentara invasi sampai jauh di Mesir dan Suriah. Israel berhasil "menjinakkan" payung udara Mesir yang ternyata lambat dalam mengiringi gerak maju pasukkannya, dengan langsung mengisi celah (gap) antara payung udara dengan pasukan yang sudah berada lebih jauh di depan. Akibatnya beberapa divisi Mesir terjebak bahkan kehabisan perbekalan. Sementara di front timur, Israel berhasil menahan serangan lapis baja Syria.

Melihat situasi berbahaya bagi Mesir, Uni Soviet tidak tinggal diam, melihat tindakan Uni Soviet, Amerika Serikat segera mempersiapkan kekuatannya. Dunia kembali diamcam perang besar pasca Perang Dunia II. Kemudian, Raja Faisal bin Abdul Aziz dari Arab Saudi mengumumkan pembatasan peroduksi minyak. Krisis energi muncul dan negara negara Industri kewalahan lantaran harga minyak dunia membumbung tinggi. Dua minggu setelah perang dimulai, Dewan Keamanan PBB mengadakan rapat dan mengeluarkan resolusi 339 serta gencatan senjata dan dengan ini mencegah kekalahan total Mesir.

Secara total 2688 tentara Israel tewas dan kurang lebih 7000 orang cedera, 314 tentara Israel dijadikan tawanan perang dan puluhan tentara Israel hilang (17 di antaranya bahkan sampai tahun 2003 belum ditemukan). Tentara Israel kehilangan 102 pesawat tempur dan kurang lebih 800 tank. Di sisi Mesir dan Suriah 35.000 tentara tewas dan lebih dari 15.000 cedera. 8300 tentara ditawan.

Angkatan Udara Mesir kehilangan 235 pesawat tempur dan Suriah 135. Kendati militer Israel berhasil memukul kembali tentara Mesir dan Suriah, perang ini dianggap sebuah kekalahan militer Israel.
Akhir Perang

Israel

Setelah perang berakhir, banyak terjadi protes di Israel sampai-sampai Perdana Menteri Golda Meir dan Menteri Pertahanan Moshe Dayan dari Partai Buruh serta Panglima Angkatan Bersenjata Israel, David Eliazar, harus mengundurkan diri.

Israel mengambil pelajaran secara teknologi dan strategi pasca Perang Yom Kippur tersebut. Secara teratur Israel memodernkan angkatan bersenjatanya baik dengan bantuan Amerika Serikat maupun swadaya. Insiden peledakkan pesawat sipil di bandar udara Lebanon yang dilakukan oleh agen Mossad pada akhir 1970-an sebagai pembalasan peristiwa "Black September", dimana atlet Olympiade Israel dibunuh oleh "gerilyawan PLO" di Munich, Jerman Barat, menyebabkan Perancis mengembargo persenjataan ke Israel. Karena khawatir Amerika Serikat melakukan hal yang sama. Israel berupaya keras melakukan upaya swasembada persenjataan. Diantaranya memproduksi pesawat tempur Mirage III tanpa izin yang dikenal dengan tipe Dagger yang digunakan Argentina dalam Perang Falkland, mengadakan riset pengacau radar dan gelombang radio, memproduksi pesawat tempur rancangan sendiri Kfir dan Lavi, serta memproduksi tank Merkava yang didesain berdasarkan pengalaman Israel mengoperasikan tank Amerika Serikat dan Inggris serta tank lawan yang rusak atau dirampas.

Kesiapan Israel ini terbukti dalam Invasi ke Lebanon Selatan pada tahun 1982 yang berhasil menduduki kawasan Lebanon Selatan serta menghancurkan kekuatan Angkatan Udara Suriah dalam Insiden Lembah Beka'a.

Mesir Dan Timur Tengah

Meskipun Mesir mengalami kerugian yang besar, perang ini memulihkan kehormatan dan rasa percaya diri mereka setelah kalah dalam Perang Enam Hari pada tahun 1967. Ketika tentara Israel mengundurkan diri dari Port Sa’id, penduduk Mesir dengan pawai dan arak-arakan besar-besaran serta pesta memasuki kota ini. Israel lalu mengundurkan diri dari seluruh daerah Sinai setelah Mesir sepakat akan membuat bufferzones. Mesir dan dunia Arab memperoleh kemenangan di mata Internasional meskipun hasil perang masih diperdebatkan.

Pada tahun 1978 di Camp David, Amerika Serikat, disepakati perjanjian yang dikenal dengan Perjanjian Camp David di mana Israel berjanji akan mengundurkan diri sampai ke perbatasan internasional dan di mana seluruh daerah Sinai menjadi daerah demilitarisasi dan diserahkan kepada Mesir. Perjanjian kedua yang akan disepakati hal-hal yang berkaitan dengan hak-hak bangsa Palestina, tetapi ditolak para pemimpin Palestina (PLO). Setahun kemudian sebuah kesepakatan perdamaian ditanda tangani oleh Menachem Begin, Jimmy Carter dan Anwar Sadat yang bersama-sama mendapat penghargaan Nobel untuk perdamaian. Perjanjian ini disponsori oleh Amerika Serikat.

Akibat penandatanganan perjanjian ini, Anwar Sadat mendapat tekanan dari dalam negeri khususnya dari kelompok fundamentalis Islam dan para pelajar Mesir yang menyebabkan Anwar Sadat mengambil tindakan represif yang mendapat kecaman karena terdapat banyak pelanggaran HAM. Akibat tindakan ini pula, Anwar Sadat akhirnya terbunuh dalam parade Militer pada ulang tahun ke-8 perang Yom Kippur.

Posisi Palestina setelah perang Yom Kippur 1973 ini semakin tidak jelas. Terlebih setelah Yordania, negeri yang ditempati sebagian besar bangsa Palestina mengambil sikap netral akibat kekalahannya pada Perang Enam Hari 1967 yang menyebabkan Yordania kehilangan Tepi Barat dan Jerussalem Timur. Sikap Yordania ini, menyebabkan kemarahan dikalangan Palestina terutama dari PLO yang saat itu berkedudukan di sana. Karena PLO bertindak sebagai negara dalam negara di Yordania dan menghindari ketidakstabilan keamanan, Raja Hussein bin Talal akhirnya mengambil sikap represif dengan mengusir PLO dari negaranya. PLO akhirnya pindah ke Libanon dan Tunisia.

Syria sendiri mengalami kerugian yang cukup besar, namun akhirnya Suriah menandatangani perjanjian gencatan senjata dengan Israel namun tidak mengadakan perjanjian perdamaian, terutama sebelum wilayah Dataran Tinggi Golan dikembalikan oleh Israel dalam perang tahun 1967. Dataran tinggi Golan sendiri akhirnya ditetapkan secara sepihak oleh Israel dengan dukungan Amerika Serikat. Namun demikian, sikap Suriah terhadap Palestina yang kurang lebih sama dengan sikap Yordania menyebabkan terjadinya pergolakan-pergolakan terutama dengan kalangan fundamentalis Islam terutama yang berkedudukan di kota Hama. Pergolakan ini berlanjut ketika Hafez Al Assad mengambil tindakan represif semakin keras yang memuncak pada peristiwa pembantaian Hama di akhir dekade 1970-an.

Sumber: http://id.wikipedia.org/
Posted by Rifan Syambodo Categories: Label:

Peristiwa-peristiwa pada saat Perang Enam Hari yang dramatik telah menimbulkan beberapa tuduhan serta teori-teori yang penuh dengan kontroversi.


7 Juni 1967: Tentara Israel mengawal
tawanan-tawanan perang Mesir di
El Arish (Shabtai Tal).
 
Angkatan Bersenjata Israel Membunuh Tawanan Perang Mesir

Dalam sebuah pertemuan untuk Radio Israel pada tanggal 16 Agustus 1995, Aryeh Yitzhaki yang dahulu bertugas di Pusat Pengajian Sejarah Angkatan Bersenjata Israel di Universitas Bar-Ilan menuduh bahwa pasukan Israel melakukan pembunuhan sehingga 1.000 orang Mesir yang tak bersenjata dibunuh oleh Angkatan Bersenjata Israel. Tuduhan itu menerima perhatian yang meluas di Israel serta di seluruh dunia. Namun, Yitzhaki kemudian diketahui bahwa ia merupakan seorang ahli Partai Tsomet (partai politik sayap kanan Israel) yang diketuai oleh Rafael Eitan. Meir Pa'il, seorang politikus dan ahli sejarah yang pernah memperkerjakan Yitzhaki sebagai asistennya, menyatakan bahwa Yitzhaki mempunyai niat terselubung untuk mengalihkan perhatian orang dari penuduhan oleh Jendral Arye Biro tentang keikutsertaan Yitzhaki dalam pembunuhan 49 orang tawanan perang pada saat perang tahun 1956.

Walaupun tuduhan Yitzhaki tidak pernah disahkan, banyak anggota militer yang tampil ke depan semasa perdebatan negara di Israel yang penuh dengan kontroversi untuk mengatakan bahwa mereka telah menyaksikan pembunuhan tawanan tidak bersenjata. Ahli sejarah militer Israel, Uri Milstein, dilaporkan berkata bahwa banyak kejadian yang serupa telah dilakukan dalam peperangan itu: "Itu bukan dasar resmi, tetapi terdapat suasana bahwa perbuatan itu tidak salah. Sebagian letnan kolonel memutuskan untuk membuatnya, dan ada yang enggan berbuat demikian. Tetapi setiap orang tahu akan perkara itu". Dokumen Angkatan Bersenjata Israel pada tanggal 11 Juni 1967 menunjukan adanya larangan untuk membunuh tawanan, dan menjelaskan kedudukan resmi Israel. Namun, tidak terdapat dokumen resmi Israel yang membenarkan skala pembunuhan untuk ditaksirkan dengan tepat.

Menurut laporan New York Times pada tanggal 21 September 1995, Mesir telah mengumumkan penemuan dua kuburan yang berisi banyak orang dan tidak dalam di El Arish, Sinai, dimana terdapat jasad 30-60 tawanan Mesir yang ditembak oleh tentara Israel selama perang enam hari. Israel dilaporkan menawarkan ganti rugi kepada keluarga korban. Menurut arsip resmi Israel, sebanyak 4.338 tentara Mesir telah ditangkap oleh Angkatan Bersenjata Israel. 11 tentara Israel telah ditangkap oleh tentara Mesir. Pertukaran tawanan selesai pada tanggal 23 Januari 1968.

Dukungan Amerika Serikat Dan Britania Raya

Sebagian orang Arab mempercayai bahwa Amerika Serikat dan Britania Raya memberikan dukungan yang aktif kepada Angkatan Udara Israel. Tuduhan tentang dukungan pertempuran Amerika Serikat dan Britania Raya kepada Israel bermula pada hari kedua peperangan tersebut. Radio Kairo dan akhbar kerajaan Al-Ahram membuat beberapa tuduhan, antaranya:
  • pesawat-pesawat dari kapal induk pesawat udara Amerika Serikat dan Britania Raya membuat serangan terhadap angkatan tentera Mesir
  • pesawat-pesawat Amerika Serikat yang ditempatkan di Libya menyerang Mesir
  • satelit mata-mata Amerika Serikat memberikan informasi kepada Israel.
Suriah dan Yordania membuat laporan-laporan yang serupa dalam siaran-siaran Radio Damaskus dan Radio Amman. Tuduhan ini juga disebut lagi oleh Presiden Mesir, Gamal Abdel Nasser, dalam ucapannya saat peletakan jabatannya pada tanggal 9 Juni 1967 (peletakan jabatannya ditolak). London dan Washington D.C. membantah tuduhan ini, dan tidak terdapat bukti yang mendukung tuduhan tersebut. Dalam lingkungan pemerintahan Amerika Serikat dan Britania Raya tuduhan ini dengan cepatnya dikenali sebagai "kebohongan besar". Walaupun begitu, tuduhan bahwa orang-orang Arab sedang bertempur dengan Amerika Serikat serta Britania Raya, dan bukan hanya dengan Israel, berterusan dalam dunia Arab.

Kapal USS Independence digunakan
dalam Armada Keenam Amerika
Serikat tahun 1967

Menurut Elie Podeh, ahli sejarah Israel: "Semua buku teks sejarah Mesir selepas tahun 1967 mengulangi tuduhan bahwa Israel melancarkan peperangan itu dengan dukungan dari Britania Raya dan Amerika Serikat. Hal itu juga mengasaskan perkaitan langsung antara perang 1967 dengan percobaan-percobaan imperialis yang dahulu untuk menguasai dunia Arab, dan menggambarkan Israel sebagai satu "kacung" imperialis. Pengulangan kisah dongeng ini, dengan hanya sedikit perubahan, dalam semua buku teks sejarah bermaksud bahwa semua kanak-kanak sekolah Mesir telah diindoktrinasikan dengan cerita sulit itu." Sebuah telegram Britania ke kubu-kubu Timur Tengah menyimpulkan: "Keengganan Arab untuk menolak semua versi palsu itu berasal sebagian dari keperluan untuk mempercayai bahwa tentara Israel tidak dapat menewaskan mereka dengan begitu saja tanpa bantuan luar."

Ahli-ahli sejarah seperti Michael Oren memperdebatkan bahwa dengan mengenakan tuduhan salah terhadap Amerika Serikat dan Britania Raya kerana membantu Israel secara langsung. Sebagai tindak balas terhadap tuduhan itu, negara-negara minyak Arab kemudian mengumumkan boikot minyak. 6 negara Arab memutuskan hubungan diplomatik dengan Amerika Serikat dan Lebanon menarik kedutaan besarnya. Pemimpin-pemimpin Arab sedang mencoba memperoleh bantuan militer yang aktif dari Uni Soviet untuk diri sendiri. Namun, pihak Soviet mengetahui bahwa tuduhan tentang bantuan asing terhadap Israel itu tidak berasas, dan memberitahu diplomat-diplomat Arab di Moskwa tentang fakta ini. Walaupun Uni Soviet tidak mempercayai tuduhan-tuduhan itu, media Soviet meneruskan pemetikan tuduhan-tuduhan tersebut dan dengan itu, menipiskan kepercayaan laporan-laporan itu.

Dalam sebuah pertemuan pada tahun 1993, Robert McNamara, Menteri Pertahanan Amerika Serikat, menyatakan bahwa keputusan untuk menempatkan Armada Keenam Amerika Serikat di Laut Tengah bagian Timur untuk mempertahankan Israel, bahkan jika diperlukan, telah mencetuskan krisis antara Amerika Serikat dan Kesatuan Soviet. Armada tersebut sedang menjalani latihan tentera laut berhampiran dengan Gibraltar ketika itu. McNamara tidak menerangkan bagaimana krisis itu diatasi. Dalam bukunya, Enam Hari, Jeremy Bowen, wartawan BBC, menuduh bahwa selama krisis itu, kapal-kapal dan pesawat-pesawat Israel membawa simpanan senjata Britania dan Amerika Serikat dari tanah Britania Raya.

Desakan Uni Soviet

Terdapat teori-teori bahwa seluruh perang pada tahun 1967 merupakan suatu percobaan yang tidak semestinya oleh Uni Soviet dengan tujuan meningkatkan ketegangan antara Jerman Barat dengan negara-negara Arab melalui dukungan Jerman Barat terhadap Israel. Dalam sebuah artikel tahun 2003, Isabella Ginor memperincikan dokumen-dokumen GRU Soviet yang memuat rencana tersebut. Ia juga memperincikan informasi intelijen yang salah yang diberikan kepada Mesir, yang menyatakan tentang bertambahnya jumlah militer Israel besar-besaran.

Sumber: http://id.wikipedia.org/
Posted by Rifan Syambodo Categories: Label: ,

Wilayah Yang Direbut Israel

Tanggal 11 Juni, Israel menandatangani perjanjian gencatan senjata dan mendapatkan Jalur Gaza, Semenanjung Sinai, Tepi Barat (termasuk Yerusalem Timur), dan Dataran Tinggi Golan. Secara keseluruhan, wilayah Israel bertambah tiga kali lipat, termasuk sekitar satu juta orang Arab yang masuk ke dalam kontrol Israel di wilayah yang baru didapat (banyak dari penduduk wilayah-wilayah tersebut mengungsi ke luar Israel). Batas Israel bertambah paling sedikit 300 km ke selatan, 60 km ke timur, dan 20 km ke utara.

Korban Jiwa

Korban yang jatuh dari pihak Israel, jauh dari perkiraan semula yang berjumlah lebih dari 10.000, termasuk sedikit: 338 prajurit meninggal di medan pertempuran Mesir, 550 meninggal dan 2.400 luka di medan pertempuran Yordania dan 141 di medan pertempuran Suriah. Mesir kehilangan 80% peralatan militer mereka, 10.000 prajurit meninggal dan 1.500 panglima terbunuh, 5.000 prajurit and 500 panglima tertangkap, dan 20.000 korban luka. Yordania mengalami korban 700 meninggal dan sekitar 2.500 terluka. Suriah kehilangan 2.500 jiwa dan 5.000 terluka, separo kendaraan lapis baja dan hampir semua artileri yang ditempatkan di Dataran Tinggi Golan dihancurkan. Data resmi dari korban Irak adalah 10 meninggal dan sekitar 30 terluka.

Perubahan Religius

Akhir dari perang juga membawa perubahan religius. Di bawah pemerintahan Yordania, orang-orang Yahudi dan Nasrani dilarang memasuki Kota Suci Yerusalem, yang termasuk Tembok Ratapan, situs paling suci orang Yahudi sejak kehancuran Bait Suci mereka. Orang Yahudi merasakan situs-situs Yahudi tidak dirawat, dan kuburan-kuburan mereka telah dinodai. Setelah dikuasai Israel, pelarangan ini dibalik. Israel mempersulit para pemuda Islam yang ingin beribadah di Masjid Al-Aqsa dengan alasan keamanan, dan hanya orang tua dan anak-anak saja yang diperbolehkan, meskipun Masjid Al-Aqsa dipercayakan di bawah pengawasan wakaf Muslim dan orang-orang Yahudi dilarang untuk beribadah di sana.

Insiden lain ialah adanya penggalian terowongan di bawah Masjid Al-Aqsa dengan tujuan mencari Haikal Sulaiman (Bait Suci Kedua), yang membuat pondasi masjid menjadi rapuh dan kemungkinan besar masjid dapat ambruk. Situs Al-Aqsa Online menyebutkan (15/2/2008), telah terjadi longsoran yang menimbulkan lubang sedalam dua meter dengan diameter 1,5 meter. Longsoran itu terjadi di dekat Pintu Gerbang Al-Selsela dan sumber air Qatibai, sisi barat masjid. Dalam pernyataannya, lembaga rekonstruksi tempat-tempat suci Islam Al-Aqsa Foundation menyatakan, longsoran itu disebabkan oleh penggalian yang dilakukan sekelompok warga Israel di bawah kompleks Masjid Al-Aqsa dan penggalian tersebut sudah mencapai Pintu Gerbang Selsela. Hal serupa juga dilontarkan gerakan Islam di Israel pimpinan Syaikh Raed Salah, yang menyerukan agar negara-negara Muslim segera mengambil langkah untuk menghentikan penggalian tersebut yang dilakukan di kompleks Masjid Al-Aqsa.

Selain kegiatan penggalian, pada Februari 2007, buldoser-buldoser Israel menghancurkan jembatan kayu menuju Pintu Gerbang Al-Maghariba dan menghancurkan dua ruang di bawah tanah, komplek Masjid Al-Aqsa. Aksi Israel ini menuai protes dari rakyat Palestina dan negara-negara Muslim. Namun Israel seakan-akan tidak mendengarkan kecaman-kecaman itu.

Perubahan Politik

Pengaruh Perang Enam Hari tahun 1967 dari segi politik amat besar. Israel telah menunjukkan bahwa Israel tidak hanya mampu, tetapi juga hendak memulai serangan-serangan strategik yang dapat merubah keseimbangan wilayah. Mesir dan Suriah mempelajari berbagai kemungkinan taktikal, tetapi mungkin bukan yang strategik. Mereka kemudian melancarkan serangan pada tahun 1973, dalam satu percobaan untuk menguasai kembali wilayah yang telah direbut Israel.


Sampul majalah Life, 23 Juni 1967.
Foto pasukan Israel di terusan Suez setelah perang.

Keputusan Israel akan disampaikan kepada negara-negara Arab melalui Amerika Serikat. Namun, walaupun Amerika Serikat diberitahu tentang keputusan ini, ia tidak diberitahu bahwa Israel memerlukan bantuannya untuk menyampaikan keputusan ini kepada Mesir dan Suriah. Oleh sebab itu, beberapa ahli sejarah menyatakan bahwa Mesir dan Suriah tidak pernah menerima tawaran itu.

Resolusi Khartoum membuat ketetapan bahwa "tidak akan ada perdamaian, pengakuan, atau perundingan dengan Israel". Namun, seperti yang diperhatikan Avraham Sela, resolusi Khartoum menandakan secara berkesan suatu peralihan tanggapan pertempuran negara-negara Arab daripada persoalan tentang kesahan Israel kepada persoalan wilayah dan perbatasan dan ini ditegaskan pada tanggal 22 November 1967 ketika Mesir dan Yordania menerima Resolusi Dewan Keamanan PBB 242.

Keputusan kabinet pada tanggal 19 Juni 1967 tidak termasuk Jalur Gaza dan oleh sebab itu, mengakibatkan kemungkinan Israel untuk memperoleh sebagian Tepi Barat secara permanen. Pada tanggal 25 - 27 Juni 1967, Israel menggabungkan Yerusalem Timur bersama kawasan-kawasan Tepi Barat di utara dan selatan kedalam kawasan Israel yang baru.

Satu lagi aspek peperangan adalah mengenai para penduduk yang menghuni di wilayah-wilayah yang direbut Israel, dan dari sekitar 1 juta orang Palestina di Tepi Barat, 300.000 melarikan diri ke Yordania dan menyumbang pergolakan yang semakin bertambah di sana. 600.000 orang yang lain tetap tinggal di Tepi Barat. Di Dataran Tinggi Golan, sebanyak 80.000 orang Suriah melarikan diri. Hanya para penghuni Yerusalem Timur dan Dataran Tinggi Golan yang menerima hak kediaman Israel yang terbatas dan Israel menganeksasi wilayah tersebut pada tahun 1980.

Baik Yordania dan Mesir akhirnya menarik balik tuntutan masing-masing terhadap Tepi Barat dan Jalur Gaza (Semenanjung Sinai dikembalikan kepada Mesir pada tahun 1978, dan persoalan Dataran Tinggi Golan masih dirundingkan dengan Suriah). Selepas penaklukan "wilayah-wilayah" baru ini oleh Israel, sebuah usaha penempatan yang besar dilancarkan oleh Israel untuk mengamankan daerah permanen Israel. Terdapat ratusan ribu penduduk Israel di wilayah-wilayah tersebut pada hari ini, walaupun penempatan-penempatan Israel di Jalur Gaza telah dipindahkan dan dimusnahkan pada bulan Agustus tahun 2005.
Sumber: http://id.wikipedia.org/
Posted by Rifan Syambodo Categories: Label: ,

Serangan Udara

Pergerakan Israel yang pertama dan yang paling penting adalah serangan pre-emptif terhadap Angkatan Udara Mesir. Angkatan Udara Mesir merupakan tentara udara termodern dan terbesar di kalangan Angkatan udara Arab, memiliki kurang lebih 450 pesawat tempur, dan semuanya merupakan buatan Uni Soviet dan baru.

Salah satu hal yang dikhawatirkan oleh Israel adalah 30 buah pesawat pengebom sederhana Tu-16 Badger, yang dapat memberikan kerusakan besar kepada pemukiman penduduk dan markas militer Israel. Pada tanggal 5 Juni 1967 pukul 7:45 waktu Israel, sirine pertahanan rakyat sipil dibunyikan diseluruh Israel, Angkatan Udara Israel melancarkan Operasi Fokus (Moked). Semua 200 jet kecuali 12 yang boleh beroperasi telah meninggalkan kawasan udara Israel dalam satu serangan besar terhadap bandara militer Mesir. Infrastruktur pertahanan Mesir memang lemah, dan tidak ada lapangan udara militer yang dilengkapi dengan bunker untuk mempertahankan pesawat terbang angkatan udara Mesir dalam satu serangan. Pesawat udara Israel bergerak menuju Laut Tengah sebelum kembali ke Mesir.

Pada saat itu, pihak Mesir mengganggu pertahanan mereka sendiri dengan menutup seluruh pertahanan udara secara efektif, karena mereka takut jika pemberontak Mesir akan menembak jatuh pesawat terbang yang membawa seluruh Letjen Sidqi Mahmoud, yang berada dalam perjalanan dari al Maza ke Bir Tamada di Sinai untuk bertemu dengan letnan kolonel yang bertugas di sana. Dalam peristiwa ini memang tidak banyak bedanya kerana pilot terbang di bawah liputan radar dan sesuai dibawah titik terendah dimana baterai misil S-75 Dvina daratan-ke-udara akan menjatuhkan pesawat terbang tersebut.

Israel telah menggunakan strategi serangan campuran, pengeboman dan tembakan yang bertubi-tubi terhadap pesawat, dengan sistem serangan bom menembus bandara yang menyebabkan bandara tidak berguna untuk pesawat-pesawat yang tidak musnah dan oleh sebab itu, menjadikannya sasaran yang tidak dapat diselamatkan karena gelombang-gelombang serangan Israel. Serangan tersebut lebih sukses dibanding yang diharapkan. Serangan itu hampir memusnahkan seluruh Angkatan Udara Mesir di daratan tanpa banyak pengorbanan Israel. Lebih dari 300 pesawat Mesir dimusnahkan, dengan 100 pilot Mesir dibunuh. Israel kehilangan 19 pesawat terbang karena kehilangan kendali, yaitu kegagalan mekanik, dan sebagainya. Serangan ini juga menjamin keunggulan udara Israel pada perang ini.

Sebelum peperangan ini terjadi, pilot Israel di lapangan telah berlatih dengan sungguh-sungguh untuk memperlengkap serangan deras pesawat yang kembali setelah melakukan serangan tiba-tiba, menyebabkan 1 pesawat melakukan serangan tiba-tiba empat kali sehari (hal ini bertentangan dengan norma angkatan udara Arab yang hanya dapat melakukan satu atau dua serangan udara setiap hari). Hal ini membuat Angkatan Udara Israel menurunkan banyak gelombang serangan terhadap bandara militer Mesir pada saat perang yang pertama, dan mengalahkan Angkatan Udara Mesir. Hal ini juga menyebabkan orang Arab mempercayai bahwa Angkatan Udara Israel dibantu oleh militer asing.

Menyusul kemenangan gelombang-gelombang serangan permulaan terhadap bandara militer Mesir yang utama, serangan-serangan susulan dibuat pada akhir hari pertama terhadap bandara yang lebih kecil serta bandara Yordania, Suriah, dan juga Irak. Sepanjang perang, pesawat-pesawat Israel meneruskan tembakan yang bertubi-tubi terhadap bandara Mesir untuk mencegah pemulihan bandara tersebut.

Jalur Gaza Dan Semenanjung Sinai

Pasukan Mesir terdiri dari 7 divisi, yaitu 4 divisi lapis baja, 2 divisi infantri, dan 1 divisi infantri yang dimaknisasi. Mesir memiliki sekitar 100.000 pasukan dan 900-950 tank di Sinai, dipersenjatai dengan 1.100 Pengangkut personel lapis baja dan 1.000 artileri. Penyusunan ini berdasarkan dari doktrin Uni Soviet, di mana mobil lapis baja menyediakan pertahanan dinamik ketika infantri ikut serta dalam pertempuran yang bersifat pertahanan.

Pasukan Israel mengkonstrasikan di perbatasan Mesir dengan mengikutsertakan 6 brigadir lapis baja, 1 brigadir infantri, 1 brigadir infantri yang dimaknisasi, 3 brigadir pasukan payung dan 700 tank yang berjumlah 70.000 orang, diatur dalam 3 divisi lapis baja. Rencana Israel adalah untuk mengejutkan pasukan Mesir (serangan tersebut tentu saja bertepatan dengan serangan Angkatan Udara Israel terhadap bandara Mesir), yang menyerang melalui rute utara dan tengah Sinai, dimana diluar dugaan Mesir karena Mesir mengguna Israel akan menggunakan rute yang sama dengan serangan tahun 1956, dimana Angkatan Bersenjata Israel menyerang melalui rute tangah dan selatan.

Pada divisi Israel yang di utara, terdapat 3 brigadir dan diperintah oleh Mayor Jendral Israel Tal, salah satu letnan kolonel yang paling penting, menyerang dengan lambat melewati Jalur Gaza dan El Arish, yang tidak dilindungi. Divisi tengah yang diperintah oleh Avraham Yoffe dan divisi selatan yang diperintah oleh Ariel Sharon, memasuki daerah Abu-Ageila-Kusseima yang sangat dilindungi oleh Mesir yang membuat terjadinya Pertempuran Abu-Ageila. Pasukan Mesir yang berada disana terdiri dari 1 divisi militer, 1 batalyon tank perusak dan 1 regimen tank.

Sharon melakukan sebuah serangan, yang telah direncanakan. Ia mengirim 2 dari brigadirnya ke sisi utara Um-Katef, yang pertama yang dapat menembus pertahanan Abu-Ageila ke selatan, dan yang kedua yang dapat memblok jalan menuju El Arish dan untuk melingkari Abu-Ageila dari timur. Pada waktu yang sama, pasukan payung terjun didekat bagian belakang posisi bertahan pasukan mesir dan menghancurkan artileri untuk mencegah penggunaan artileri untuk membalas serangan infantri Israel dengan artileri tersebut. Dengan digabungkannya pasukan, tank, pasukan payung, infantri, artileri, dan insinyur militer yang menyerang Mesir dari depan, belakang dan sisi lainnya. Pertempuran berlangsung 3 setengah hari sampai akhirnya Abu-Ageila jatuh.

Banyak pasukan Mesir yang tetap utuh dan terus mencoba mencegah pasukan Israel mencapai Terusan Suez atau menyerang secara tiba-tiba dalam usaha untuk mencapai kanal. Namun, ketika Menteri Pertahanan Mesir, Abdel Hakim Amer mendengar berita tentang jatuhnya Abu-Ageila, ia panik dan emmerintahkan seluruh pasukan di Sinai untuk mundur. Perintah ini berarti kekalahan Mesir.


Penguasaan Sinai. 7 Juni-8 Juni 1967

Karena mundurnya pasukan Mesir, letnan kolonel tertinggi Israel memilih untuk tidak mengejar pasukan Mesir, namun lebih baik menyusul dan menghancurkan mereka di wilayah pegunungan di Sinai Barat. Setelah itu, dalam waktu 2 hari (6 Juni 7 Juni 1967), seluruh 3 divisi Israel (Sharon dan Tal diperkuat oleh brigadir lapis baja) maju menuju barat dan mencapai jalan di daerah pegunungan. Divisi Sharon pertama pergi menuju selatan dan barat menuju celah Mitla. Semua pasukannya bergabung disana dengan bagian dari divisi Yoffe, ketika pasukan lainnya memblok celah Gidi. Pasukan Tal juga berhenti di berbagai tempat.

Aksi blokade Israel hanya sukses di celah Gidi yang dapat direbut sebelum pasukan Mesir muncul, namun di tempat lain, pasukan Mesir dapat melewati dan menyebrang untuk keselamatan terusan. Namun, kemenangan Israel tetaplah mengagumkan. Dalam operasi selama 4 hari, pasukan Israel menaklukan pasukan yang paling besar dan pasukan paling bersenjata di Arab, meninggalkan beberapa tempat di Sinai terbuang dengan ratusan pembakaran atau mobil Mesir yang ditinggalkan dan persenjataan militer.

Pada tanggal 8 Juni 1967, Israel menyelesaikan pendudukan Sinai dengan mengirim pasukan infantri ke Ras-Sudar (ladang minyak di teluk Suez) di pantai barat semenanjung tersebut. Terdapat beberapa penyebab yang membuat serangan cepat Israel menjadi mungkin untuk dilakukan, pertama, keunggulan Angkatan Udara Israel atas Mesir, kedua, Israel membuat rencana perang yang baik, dan yang ketiga, koordinasi yang kurang diantara pasukan Mesir. Hal tersebut juga menjadi elemen kemenangan di front Israel yang lainnya.

Tepi Barat

Yordania enggan untuk memasuki perang ini. Beberapa menyatakan bahwa Nasser menggunakan ketidakjelasan pada jam pertama konflik tersebut untuk meyakinkan Hussein bahwa ia menang. Nasser menyatakan sebagai bukti bahwa sebuah radar melihat 1 skuadron pesawat tempur Israel kembali dari bombardmen di Mesir yang dinyatakan oleh Nasser sebagai pesawat Mesir yang menyerang Israel. Salah satu brigadir Yordania yang berpatroli di Tepi Barat dikirim ke daerah Hebron untuk berhubungan dengan Mesir. Hussein memilih untuk menyerang.


Peta jalur serangan Yordania
tanggal 5 Juni - 7 Juni 1967

Pada perang, militer Yordania, termasuk 11 brigadir yang berjumlah 55.000 pasukan, dilengkapi dengan 300 tank modern. 9 brigadir (45.000 tentara, 270 tank, 200 artileri) didistribusikan ke Tepi Barat, termasuk brigadir elit lapis baja ke-40, dan 2 di Lembah Yordania. Pasukan Arab merupakan pasukan yang berpengalaman, profesional, memiliki persenjataan yang cukup dan sudah cukup terlatih, bahkan pos perang Israel menyatakan bahwa jendral Yordania beraksi dengan profesional, tapi selalu meninggalkan "setengah dari langkah" di belakang oleh pergerakan Israel. Pada Angkatan Udara Yordania hanya terdapat 24 pesawat tempur Hawker Hunter buatan Britania Raya. Menurut Israel, pesawat Hawker Hunter sejajar dengan Dassault Mirage III buatan Perancis yang merupakan pesawat terbaik Angkatan Udara Israel.

Untuk melawan pasukan Yordania di Tepi Barat, Israel mendistribusikan sekitar 40.000 pasukan dan 200 tank {8 brigadir). Pada pasukan utama Israel terdapat 5 brigadir. 2 brigadir berpatroli di Yerusalem dan disebut Brigadir Yerusalem dan Brigadir Harel yang dimaknisasikan. Brigadir pasukan payung ke-55 Mordechai Gur dipanggil dari front Sinai. Sebuah brigadir lapis baja dialokasikan dari pasukan cadangan dan dibawa ke daerah Latrun. Brigadir lapis baja ke-10 berpatroli di utara Tepi Barat. Komando utara Israel menyediakan sebuah divisi 3 brigadir) yang dipimpin oleh mayor jendral Elad Peled, yang berpatroli di utara Tepi Barat, di Lembah Jezreel.

Rencana Angkatan Bersenjata Israel merupakan rencana untuk tetap bertahan di front Yordania, agar dapat mengutamakan serangan atas Mesir. Namun, pada pagi hari tanggal 5 Juni 1967, pasukan Yordania melakukan daya tolak di daerah Yerusalem, menduduki rumah pemerintahan yang digunakan sebagai benteng untuk pengamat PBB dan menembak bagian barat kota Yerusalem. Pasukan di Qalqiliya menembak ke arah kota Tel Aviv. Angkatan Udara Yordania menyerang bandara Israel. Baik serangan udara maupun artileri menyebabkan kerusalakan kecil. Pasukan Israel berpencar untuk menyerang pasukan Yordania di Tepi Barat. Pada siang hari di hari yang sama, Angkatan Udara Israel beraksi dan menghancurkan Angkatan Udara Yordania. Pada sore hari, brigadir infantri Yerusalem bergerak ke arah selatan Yerusalam, ketika pasukan payung Harel dan Gur melingkari dari utara.

Pada tanggal 6 Juni 1967, pasukan Israel menyerang. Brigadir pasukan payung cadangan menyelesaikan pelingkaran Yerusalem dalam pertarungan yang berdarah, yaitu Pertempuran Bukit Amunisi, pertempuran yang terjadi di pos militer Yordania di Yerusalem Timur. Brigadir infantri menyerang benteng di Latrun dan merebutnya pada akhir hari, dan maju melewati Beit Horon menuju Ramallah. Brigadir Harel melanjutkan serangannya ke daerah pegunungan di barat laut Yerusalem. Pada sore hari, brigadir tersebut tiba di Ramallah. Angkatan Udara Israel mendeteksi dan menghancurkan Brigadir Yordania ke-60 dengan Angkatan Udara Israel mengalihkan rute dari Yerikho untuk memperkuat Yerusalem.

Di utara, 1 batalion dari divisi Peled dikirim untuk memeriksa pertahanan Yordania di Lembah Yordania. Brigadir yang merupakan bagian dari divisi Peled merebut bagian barat dari Tepi Barat, dan yang lainnya merebut Jenin dan yang ketiga (dilengkapi dengan AMX-13) menyerang tank M48 Patton milik Yordania di timur.

Pada tanggal 7 Juni 1967, pertarungan berat terjadi kemudian. Pasukan payung Gur memasuki kota tua Yerusalem melewati gerbang singa dan merebut tembok ratapan dan Al Haram Al Sharif. Brigadir Yerusalem lalu memperkuat mereka, dan melanjutkan serangan ke selatan, merebut Yudea, Gush Etzion dan Hebron. Brigadir Harel melanjutkan serangan ke timur, bergerak menuju Sungai Yordan. Di Tepi Barat, salah satu brigadir Peled mengepung Nablus lalu bergabung dengan salah satu brigadir pasukan utama untuk bertempur melawan pasukan Yordania yang memiliki jumlah persenjataan yang lebih banyak dari Israel.

Kekuasaan udara Israel menjadi faktor kekalahan Yordania. Salah satu brigadir Peled bergabung dengan pasukan utama yang datang dari Ramallah, dan 2 lainnya mengeblok Sungai Yordan bersama dengan Pasukan Utama ke-10 (nantinya mereka menyebrangi Sungai Yordan ke Tepi Timur untuk menyediakan tempat untuk insinyur militer ketika mereka meledakan jembatan, tapi akhirnya dengan cepat mundur karena tekanan Amerika Serikat).

Dataran Tinggi Golan

Laporan orang Mesir yang salah tentang kemenangan atas pasukan Israel, dan ramalan bahwa artileri Mesir akan segera menguasai Tel Aviv membuat Suriah semakin yakin untuk memasuki perang. Kepemimpinan Suriah mengadopsi kemunculan yang lebih berhati-hati daripada mulai menyerang Israel Utara. Ketika Angkatan Udara Israel menyelesaikan misinya di Mesir, dan berbalik untuk menghancurkan Angkatan Udara Suriah yang terkejut, Suriah mengerti bahwa berita yang didengar dari Mesir tentang penghancuran atas militer Israel adalah berita palsu. Selama sore hari pada tanggal 5 Juni 1967, serangan udara Israel menghancurkan dua dari pesawat Angkata Udara Suriah, dan memaksa pesawat lainnya untuk mundur ke basis terdekat, tanpa memainkan peran lebih jauh dalam peperangan. Pasukan Suriah mencoba merebut pabrik air di Tel Dan. Beberapa tank Suriah juga dilaporkan tenggelam di sungai Yordan. Dalam berbagai kasus, komando Suriah berharap adanya serangan bawah tanah dan memulai serangan besar-besaran atas kota Israel di Lembah Hula.

Tanggal 7 Juni 1967 dan 8 Juni 1967 terlewati dengan hal seperti ini. Pada saat itu, debat telah terjadi di Israel bahwa Dataran Tinggi Golan juga harus diserang. Militer menyatakan bahwa serangan itu akan sangat mahal, karena pertempuran itu merupakan pertempuran di daerah pegunungan melawan musuh yang kuat. Pada sisi barat Dataran Tinggi Golan, terdapat lereng bebatuan yang tingginya mencapai 500 meter (1700 kaki) dari Danau Galilea dan Sungai Yordan. Moshe Dayan percaya bahwa operasi itu akan membuat sekitar 30.000 orang mati. Levi Eshkol, di tangan lain, lebih terbuka kepada kemungkinan pada sebuah operasi terhadap Dataran Tinggi Golan, dan juga ketua dari Komando Utara, David Elazar, yang sangat yakin bahwa operasi ini dapat mengikis keengganan Dayan. Akhirnya, dimana situasi di front selatan dan tengah bersih, Moshe Dayan menjadi lebih yakin dengan ide ini, dan ia memimpin operasi ini.


Pertempuran Dataran Tinggi Golan,
9 Juni - 10 Juni 1967

Jumlah pasukan Suriah sekitar 75.000 yang dikelompokan dalam 9 brigadir, didukung oleh jumlah artileri dan persenjataan yang cukup. Pasukan Israel yang digunakan dalam serangan terdiri dari 2 brigadir (satu brigadir lapis baja dipimpin oleh Albert Mandler dan Brigadir Golan) di bagian utara front, dan 2 lainnya (infantri dan 1 dari brigadir Peled yang dipanggil untuk Jenin) di front pusat. Walaupun tentara Suriah dapat bergerak dari utara ke selatan di dataran tinggi tersebut, tentara Israel dapat bergerak dari utara ke selatan di basis tebing Golan. Keunggulan yang didapat oleh Israel adalah intelijen yang baik yang dapat mengumpulkan data oleh mata-mata Mossad, Eli Cohen (yang akhirnya tertangkap dan dieksekusi di Suriah tahun 1965) mendapat informasi tentang posisi pertempuran Suriah.

Angkatan Udara Israel yang telah menyerang artileri Suriah selama 4 hari, mendapat perintah untuk menyerang posisi Suriah dengan seluruh pasukannya. Ketika artileri yang dilindungi dengan baik hampir tidak terdapat kerusakan, pasukan darat tetap berada di Dataran Tinggi Golan (6 dari 9 brigadir) menjadi tidak dapat mengatur pertahanan. Pada sore hari tanggal 9 Juni 1967, 4 brigadir Israel telah menembus Dataran Tinggi Golan, dimana mereka dapat diperkuat dan diganti.

Pada tanggal 10 Juni 1967, grup tengah dan utara bergabung dalam pergerakan di dataran tinggi, namundaerah tersebut direbut dalam keadaan kosong dimana pasukan Suriah telah melarikan diri. Beberapa pasukan gabungan yang dipimpin oleh Elad Peled memanjat Golan dari selatan, hanya untuk mendapati posisi yang kosong. Selama hari itu, pasukan Israel berhenti setelah menerima manuver diantara posisi mereka dimana terdapat garis dari lereng gunung berapi ke barat. Di bagian timur, relief dataran rendah adalah relief padang rumput yang terbuka. Posisi ini menjadi garis gencatan senjata yang diketahui dengan nama "Garis Ungu".

Perang Di Udara

Selama perang enam hari, Angkatan Udara Israel mendemonstrasikan kepentingan kekuasaan udara selama terjadinya konflik militer modern, terutama dalam front padang pasir. Dengan serangan Angkatan Udara Israel yang dimulai selama matahari terbit, angkatan udara Israel dapat menaklukan angkatan udara Arab dan mendapat kekuasaan udara di seluruh front, dan menjadi salah satu penyebab kemenangan Israel pada perang ini, dan yang paling menarik adalah dihancurkannya brigadir lapis baja ke-60 Yordania didekat Yerikho dan srangan terhadap brigadir lapis baja Irak yang dikirim untuk menyerang Israel melalui Yordania
Angkatan Udara Arab tidak pernah berhasil untuk membuat serangan yang efektif, contohnya serangan pejuang Yordania dan pengebom Tu-16 Mesir terhadap Israel selama 2 hari pertama tidak berhasil dan memimpin penghancuran pesawat tempur (pengebom Mesir ditembak jatuh ketika pejuang Yordania dihancurkan selama diserang).

Beberapa pilot Arab yang kecewa berkhianat dengan MiG pada Israel terlebih dahulu pada pecahnya konflik. Israel mengkapitalisasikan pada hal ini dengan uji coba penerbangan MiG pada tingkat maksimum, yang memberi pilot Israel keunggulan terhadap musuh mereka. Pengkhianatan Arab yang menarik perhatian termasuk:
  • Pada 19 Januari 1964, pilot Mesir, Mahmud Abbas Hilmi berkhianat dari Lapangan Udara el-Arish ke Lapangan Udara Hatzor di Israel di Yakovlev Yak-11nya.
  • Pada tahun 1965, pilot Suriah berkhianat pada MiG-17F kepada Israel.
  • Pada tahun 1966, Kapten Irak Munir Redfa menerbangkan MiG-21F-13 ke Israel. Setelah pengkhianatan kapten Redfa, 3 MiG-21F-13 dan paling sedikit 6 MiG-17F pilot Aljazair ditangkap oleh Israel setelah mendaratkan pesawat mereka di Lapangan Udara el-Arish Israel karena kesalahan. Salah satu pilot Aljazair yang ditangkap dipertanyakan dan mendapat asylum politik di Barat, sementara sisanya dipulangkan.
  • Paling sedikit dua pilot Irak berkhianat ke Yordania dengan MiG-21F-13. Yordania memberi mereka asylum politik tetapi mengembalikan pesawatnya ke Irak.
Pada 6 Juni, hari kedua perang, Raja Hussein dan Nasser menyatakan bahwa pesawat Amerika dan Britania ikut serta dalam serangan Israel.

Perang Di Laut

Perang di laut sangat terbatas. Pergerakan kapal perang Israel dan Mesir digunakan untuk menyerang dari sisi lain, tapi tidak pernah secara langsung ikut serta dalam pertarungan lainnya di laut. Pergerakan yang mendapat sebuah hasil adalah penggunaan 6 manusia katak Israel di pelabuhan Alexandria (mereka tertangkap karena menenggelamkan sebuah kapal), dan kru kapal ringan Israel yang merebut Sharm el-Sheikh di daerah selatan semenanjung Sinai pada tanggal 7 Juni 1967. Pembersih ranjau Mesir tenggelam di pelabuhan Hurgahda. Kapal yang tenggelam disebut sebagai El Mina, yang diterjemahkan sebagai "pelabuhan".

Pada tanggal 8 Juni 1967, terjadi sebuah serangan pesawat tempur dan kapal torpedo Israel terhadap kapal intelijen Amerika Serikat USS Liberty sekitar 12.5 mil laut (23 km) lepas pantai Semenanjung Sinai, di utara kota Mesir El Arish. Serangan ini menewaskan 34 tentara Amerika Serikat dan melukai setidaknya 173 orang dimana serangan ini adalah serangan yang paling mematikan kedua terhadap kapal perang Amerika Serikat sejak Perang Dunia II, terbesar kedua setelah serangan rudal Exocet Irak terhadap kapal USS Stark pada tanggal 17 Mei 1987, dan menimbulkan korban jiwa terbesar dalam sejarah komunitas intelijen AS. Israel menyatakan bahwa terjadi kesalahan identifikasi dan Israel meminta maaf dengan membayar ganti rugi terhadap keluarga korban. Kebenaran tentang klaim Israel masih diperdebatkan, namun Amerika Serikat menerima bahwa insiden ini adalah sebuah kecelakaan.

Sumber: http://id.wikipedia.org/
Posted by Rifan Syambodo Categories: Label: ,

Perang Enam Hari (bahasa Ibrani: מלחמת ששת הימים Milkhemet Sheshet HaYamim, bahasa Arab: حرب الأيام الستة ħarb al-'ayyam as-sittah), juga dikenali sebagai Perang Arab-Israel 1967, merupakan peperangan antara Israel menghadapi gabungan tiga negara Arab, yaitu Mesir, Yordania, dan Suriah, dan ketiganya juga mendapatkan bantuan aktif dari Irak, Kuwait, Arab Saudi, Sudan dan Aljazair. Perang tersebut berlangsung selama 132 jam 30 menit (kurang dari enam hari), hanya di front Suriah saja perang berlangsung enam hari penuh.

Soldiers Western Wall 1967.jpg
Tentara Angkatan Pertahanan Israel di
Tembok Barat Yerusalem tidak lama setelah
merebutnya.

Pada bulan Mei tahun 1967, Mesir mengusir United Nations Emergency Force (UNEF) dari Semenanjung Sinai; ketika itu UNEF telah berpatroli disana sejak tahun 1957 (yang disebabkan oleh invasi atas Semenanjung Sinai oleh Israel tahun 1956). Mesir mempersiapkan 1.000 tank dan 100.000 pasukan di perbatasan dan memblokade Selat Tiran (pintu masuk menuju Teluk Aqaba) terhadap kapal Israel dan memanggil negara-negara Arab lainnya untuk bersatu melawan Israel. Pada tanggal 5 Juni 1967, Israel melancarkan serangan terhadap pangkalan angkatan udara Mesir karena takut akan terjadinya invasi oleh Mesir. Yordania lalu menyerang Yerusalem Barat dan Netanya. Pada akhir perang, Israel merebut Yerusalem Timur, Jalur Gaza, Semenanjung Sinai, Tepi Barat, dan Dataran Tinggi Golan. Hasil dari perang ini mempengaruhi geopolitik kawasan Timur Tengah sampai hari ini.

Latar Belakang

Akibat Perang Arab-Israel Tahun 1948 Dan 1956

Perang ini disebabkan oleh ketidakpuasan orang Arab atas kekalahannya dalam Perang Arab-Israel tahun 1948 dan 1956. Pada saat terjadinya Krisis Suez tahun 1956, walaupun Mesir kalah, namun mereka menang dalam hal politik. Tekanan diplomatik dari Amerika Serikat dan Uni Soviet memaksa Israel untuk mundur dari Semenanjung Sinai. Setelah perang tahun 1956, Mesir setuju atas keberadaan pasukan perdamaian PBB di Sinai, UNEF, untuk memastikan kawasan tersebut bebas tentara dan juga menghalangi gerilyawan yang akan menyebrang ke Israel, sehingga perdamaian antara Mesir dan Israel terwujud untuk sesaat.

Perang tahun 1956 menyebabkan kembalinya keseimbangan yang tidak pasti, karena tidak ada penyelesaian atau resolusi tetap mengenai masalah-masalah di wilayah itu. Pada masa itu, tidak ada negara-negara Arab yang mengakui kedaulatan Israel. Suriah yang bersekutu dengan blok Soviet mulai mengirim gerilyawan ke Israel pada awal tahun 1960-an sebagai bagian dari "perang pembebasan rakyat", dalam rangka untuk mencegah perlawanan domestik terhadap partai Ba'ath. Selain itu, negara-negara Arab juga mendorong gerilyawan Palestina menyerang sasaran-sasaran Israel.

Pengangkut Air Nasional Israel

Pada tahun 1964, Israel telah mulai mengalihkan air dari Sungai Yordan untuk Pengangkut Air Nasional Israelnya. Pada tahun berikutnya, negara-negara Arab mulai membuat "Rencana Pengalihan Air". Apabila rencana tersebut selesai, maka akan mengalihkan air dari Sungai Banias agar tidak memasuki Israel dan Danau Galilea melainkan mengalir ke dalam suatu bendungan di Mukhaiba untuk Yordania dan Suriah, serta mengalihkan air dari Hasbani ke dalam Sungai Litani di Lebanon. Hal ini akan mengurangi kapasitas air yang masuk ke Pengangkut Air Nasional Israel sebanyak 35%, dan persediaan air Israel sekitar 11%.

Angkatan Bersenjata Israel menyerang pekerjaan pengalihan tersebut di Suriah pada bulan Maret, Mei, dan Agustus tahun 1965, sebuah rangkaian kekerasan yang berlanjut di sepanjang perbatasan, yang berhubungan langsung dengan peristiwa-peristiwa lainnya yang nantinya akan memulai perang.

Israel Dan Yordania: Peristiwa Samu

Pada tanggal 12 November 1966, seorang Polisi Perbatasan Israel menginjak ranjau yang menyebabkan terbunuhnya 3 tentara dan melukai 6 orang lainnya. Pihak Israel percaya bahwa ranjau tersebut telah ditanam oleh teroris Es Samu di Tepi Barat. Pada pagi tanggal 13 November 1966, Raja Hussein, yang sudah tiga tahun mengadakan pertemuan rahasia dengan Abba Eban dan Golda Meir untuk membahas keamanan perbatasan dan perdamaian, menerima pesan yang tidak diminta dari Israel yang menyatakan bahwa Israel tidak mempunyai niat untuk menyerang Yordania.

Walaupun begitu, pada pukul 5:30 pagi, Hussein menyatakan bahwa "dengan alasan 'balas dendam terhadap aktivitas teroris dari P.L.O.', Pasukan Israel menyerang Es Samu, sebuah desa Yordania yang mempunyai 4.000 penduduk, seluruhnya merupakan pengungsi dari Palestina, yang dituduh Israel menyembunyikan teroris dari Suriah".


Sebuah Tank Centurion Israel.

Dalam "Operasi Shredder", operasi tentara Israel terbesar sejak tahun 1956 sampai terjadinya Invasi Lebanon 2006, pasukan sekitar 3.000-4.000 tentara yang didukung tank dan pesawat tempur ini dibagi kedalam pasukan cadangan, yang tetap tinggal di bagian perbatasan Israel, dan dua pasukan penyerang, yang menyebrang ke Tepi Barat yang dikuasai Yordania.

Israel Dan Suriah

Selain mendukung serangan-serangan kepada Israel (yang sering memasuki wilayah Yordania, sehingga mengesalkan Raja Hussein), Suriah pun mulai menembaki komunitas rakyat Israel di timur Danau Galilea dari posisinya di Dataran Tinggi Golan, sebagai bagian dari perselisihan atas penguasaan Zona Demiliterisasi, yaitu tanah kecil yang diklaim oleh Israel dan Suriah.

Pada tahun 1966, Mesir dan Suriah menandatangani persekutuan militer, yang mana mereka akan saling membantu bila salah satunya diserang pihak lain. Menurut Indar Jit Rikhye (penasihat militer PBB), Menteri Luar Negeri Mesir Mahmoud Riad mengatakan bahwa Mesir telah dibujuk oleh Uni Soviet untuk menjalin pakta pertahanan tersebut berdasarkan 2 alasan: untuk mengurangi peluang terjadinya serangan penghukuman terhadap Suriah oleh Israel, dan untuk membawa Suriah ke dalam pengaruh Presiden Mesir Gamal Abdel Nasser yang lebih moderat.

Mundurnya Pasukan Keamanan PBB

U Thant, Sekretaris Jendral PBB, mencoba untuk berunding dengan Mesir, namun, pada tanggal 18 Mei 1967, Menteri Luar Negeri Mesir memberitahu negara-negara yang memiliki tentara UNEF bahwa misi UNEF di Mesir dan Jalur Gaza telah dibatalkan dan mereka harus pergi segera. Tentara Mesir juga menghalangi tentara UNEF yang hendak memasuki pos mereka. India dan Yugoslavia memutuskan untuk menarik semua tentara mereka dari UNEF, tanpa mengira keputusan U Thant. Ketika semua ini berlangsung, U Thant memberi usulan bahwa UNEF pindah ke perbatasan Israel, namun Israel menolak usulan ini. Wakil Mesir kemudian memberitahu U Thant bahwa Mesir telah memutuskan untuk menghilangkan kehadiran UNEF di Sinai dan Jalur Gaza, dan meminta agar diambil langkah untuk semua pasukan darurat mundur dengan segera. Pada tanggal 19 Mei 1967, letnan kolonel UNEF menerima perintah untuk mundur. Gamal Abdel Nasser, Presiden Mesir, kemudian memulai demiliterisasi Sinai, dan mempersiapkan tank dan tentara di perbatasan antara Mesir dan Israel.

Selat Tiran

Pada tanggal 22 Mei 1967, Mesir mengumumkan bahwa mulai dari tanggal 23 Mei 1967, Selat Tiran akan ditutup untuk "semua kapal yang mengibarkan bendera Israel atau membawa bahan-bahan strategik". Nasser juga menyatakan, "Tidak akan membiarkan bendera Israel melalui Teluk Aqaba dengan alasan apapun." Kebanyakan perdagangan Israel menggunakan pelabuhan-pelabuhan di kawasan Laut Tengah, dan menurut John Quigley, walaupun kapal-kapal dengan bendera Israel tidak pernah menggunakan pelabuhan Eilat sejak dua tahun sebelum bulan Juni tahun 1967, minyak yang dibawa oleh kapal-kapal dengan bendera yang bukan bendera Israel merupakan impor yang sangat penting bagi Israel. Terdapat ketidakjelasan tentang tingkat keketatan blokade tersebut, khususnya mengenai apakah hal itu juga berlaku terhadap kapal-kapal yang bukan berbendera Israel.

Mesir Dan Yordania

Ideologi Nasser yang berbentuk pan-Arabisme telah mendapat banyak dukungan di Yordania, sehingga pada tanggal 30 Mei 1967, Yordania menandatangani pakta pertahanan dengan Mesir, oleh sebab itu, ia bergabung dengan persekutuan militer antara Mesir dan Yordania. Presiden Nasser, dimana telah menyebut Raja Hussein sebagai seorang "pesuruh imperialis". Israel telah meminta Yordania beberapa kali agar tidak menyerang Israel. Namun, Hussein berada di ujung tanduk, dan berada di dalam dilema, ia harus memilih apakah Yordania harus ikut dalam peperangan dan menerima risiko dari balasan Israel, atau agar tetap netral dan mendapat risiko akan terjadinya revolusi di Yordania. Jendral Sharif Zaid Ben Shaker juga memperingati dalam konferensi pers bahwa "Jika Yordania tidak ikut dalam perang ini, perang saudara akan menghancurkan Yordania".

Aliran Menuju Peperangan

Sebuah tulisan ditulis pada tahun 2002 oleh jurnalis Mike Shuster yang mengekspresikan pandangannya bahwa hal itu adalah hal yang lazim di Israel sebelum perang tersebut karena Israel "dikepung oleh negara Arab. Mesir dipimpin oleh Gamal Abdel Nasser, nasionalis yang pasukannya merupakan pasukan terkuat di Timur Tengah. Suriah dipimpin oleh Partai Ba'ath yang radikal, yang membahas permasalahan untuk mendorong Israel ke laut." Hal ini dilihat oleh Israel sebagai aksi provokasi oleh Nasser, termasuk penutupan selat Tiran dan mobilisasi pasukan di Sinai, yang membuat rantai teanan ekonomi dan militer, dan Amerika Serikat menunggu kesempatan baik karena permasalahannya dalam Perang Vietnam, tokoh militer dan politik Israel merasa bahwa dengan "melakukan tindakan militer sebelum diserang" bukan hanya lebih disukai, tetapi transformatif.

Diplomasi Dan Taksiran Intelijen

Kabinet Israel melakukan sidang pada tanggal 23 Mei 1967 dan membuat keputusan untuk melancarkan serangan lebih dahulu jika Selat Tiran tidak dibuka sampai tanggal 25 Mei 1967. Setelah suatu pendekatan US Undersecretary of State Eugene Rostow untuk melakukan perundingan sebagai penyelesaian masalah tanpa peperangan, dan Israel setuju untuk menunda serangannya.

Pada tanggal 26 Mei 1967, Menteri Luar Israel Abba Eban mendarat di Washington D.C. untuk memastikan Amerika tentang keputusannya dalam peristiwa ini. Segera setelah Eban tiba, ia mendapat telegram dari pemerintah Israel. Telegram itu menyatakan bahwa Israel telah mempelajari rencana Mesir dan Suriah untuk melancarkan suatu peperangan pemusnahan atas Israel dalam kurun waktu 48 jam yang akan datang. Eban bertemu dengan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Dean Rusk, Menteri Pertahanan Robert McNamara, dan akhirnya dengan Presiden Johnson. Pihak Amerika menyatakan bahwa sumber intelijen mereka tidak dapat mendukung tuduhan tersebut, kedudukan Mesir di Sinai masih dalam posisi bertahan. Eban meninggalkan Gedung Putih dengan bingung.

Tentara Yang Bertempur

Terdapat sekitar 100.000 dari 160.000 pasukan Mesir di Sinai, termasuk semua dari 7 divisi (4 infantri, 2 lapis baja dan 1 dimaknisasikan), juga 4 infantri indenpenden dan 4 brigadir lapis baja indenpenden. Tidak kurang 3 dari mereka adalah veteran Mesir yang melakukan intervensi di Yaman pada saat Perang Saudara Yaman dan 3 lainnya adalah cadangan. Pasukan ini memiliki 950 tank, 1.100 APC dan lebih dari 1.000 artileri. Pada waktu yang sama beberapa tentara Mesir (15.000 - 20.000) masih bertempur di Yemen. 2 perasaan Nasser yang bertentangan tentang keinginannya digambarkan dalam perintahnya terhadap militer. Pegawai jenderal mengganti rencana operasional 4 kali pada bulan Mei tahun 1967, yang tiap perubahan harus dilakukan kembali distribusi pasukan, dengan korban yangtidak dapat dihindarkan baik tentara maupun peralatan. Pada saat menuju akhir Mei, Nasser akhirnya melarang pegawai jendral untuk melanjutkan rencana Qahir ("kemenangan"), dimana memanggil layar infantri ringan dalam fortifikasi selanjutnya dengan bagian terbesar pasukan menahan balik untuk menahan serangan balik besar-besaran dan melawan pasukan utama Israel ketika diidentifikasi, dan memerintahkan pertahanan lebih lanjut atas Sinai. Ia melanjutkan mengambil aksi untuk meningkatkan jumlah mobilisasi Mesir, Suriah dan Yordania, untuk membuat tekanan terhadap Israel.

Pasukan Yordania berjumlah 55.000, sedangkan pasukan Suriah memiliki 75.000 pasukan.
Pasukan Israel memiliki pasukan, termasuk pasukan cadangan, yang berjumlah 264.000, walaupun begitu jumlah ini tidak dapat ditopang, apalagi pasukan cadangan sangat vital untuk keselamatan rakyat sipil. James Reston menulis di koran New York Times pada tanggal 23 Mei 1967 mencatat, "Dalam kedisiplinan, pelatihan, moral, peralatan dan kemampuan jendral Mesir dan pasukan lainnya, tanpa bantuan langsung dari Uni Soviet, tidak ada apa-apanya dibanding Israel... Meskipun dengan 50.000 pasukan dan dengan jendral terbaiknya dan pasukan udaranya di Yaman, dia tidak akan bisa untuk melakukan jalannya di negara kecil dan primitif itu, dan usahanya untuk menolong pemberontak Kongo adalah sebuah kegagalan."

Pada sore hari tanggal 1 Juni 1967, Menteri Pertahanan Israel Moshe Dayan memanggil jendral Yitzhak Rabin dan Jendral Brigadir Komando Selatan Yeshayahu Gavish untuk menghadiri rencana melawan Mesir. Rabin telah mencampur rencana dimana komando selatan akan bertempur dalam perjalanannya menuju Jalur Gaza dan lalu menahan teritori dan orang-orangnya sebagai sandra hingga Mesir setuju untuk membuka kembali Selat Tiran, dimana Gavish memiliki rencana luas untuk memusnahkan pasukan Mesir di Sinai. Rabin lebih menyukai rencana Gavish, dimana disetujui oleh Dayan dengan hati-hati bahwa serangan serempak melawan Suriah harus dihindari.

Sumber: http://id.wikipedia.org/
Posted by Rifan Syambodo Categories: Label: , ,

SS Bunker Hill ditabrak dua Kamikaze dalam 30 detik dari Kyushu, 11 Mei 1945

Saat pagi berdarah di Laut Filipina pada tanggal 11 Mei 1945, kapal induk USS Bunker Hill dilumpuhkan oleh 2 kamikaze. Sebuah A6M Mitsubishi Zero “Zeke” pesawat tempur muncul seperti hantu dari awan rendah dan cepat merpati, menjatuhkan bom 550-lb yang hancur luar sisi kapal sebelum menerjang sendiri ke dek penerbangan dan tergelincir ke samping. Bola api raksasa muncul dari 30 pesawat yang sedang parkir dengan bahan bakar penuh. tetapi tidak ada waktu istirahat bagi kapal induk AS, karena 30 detik kemudian Zeke kedua terjun ke vertikal, terjun melalui peluru tembakan anti pesawat sambil menjatuhkan bom lainnya, kemudian menabrak dek penerbangan dekat dengan menara kontrol. Bom menembus dek dan meledak, menyebabkan nyala neraka dari ledakan dan bensin yg terbakar. Bunker Hill kehilangan lebih dari 400 orang, dengan 264 lebih terluka, Kiyoshi Ogawa, yang menerbangkan pesawat kedua, meninggal sebagai pahlawan kematian.


USS Bunker Hill terbakar setelah ditabrak dua kamikaze,11 mei 1945


    

Kamikaze menyerang USS Columbia (CL-56) diteluk Lingayen, 6 Januari 1945


Pada tanggal 6 Januari 1945, saat pra-invasi Sekutu pemboman sedang berlangsung, serangan kamikaze Jepang diderita oleh light cruiser USS Columbia seperti lebah marah. Setelah satu pesawat itu jatuh di dekat samping kapal, serangan kedua mengenai USS Columbia, pesawat dan bomnya menabrak dua dek sebelum meledak. sebanyak 13 orang kru tewas dan 44 terluka, sementara alat penyemprot air macet sehingga terjadi kebakaran hebat. tiga hari kemudian, ketika Columbia mengapung tidak berdaya dekat pantai, kamikaze lain menyerang, menewaskan 25 dan melukai 97.

52 Zeke menyerang USS White Plains (CVE-66), 25 Oktober 1944


Ketika matahari terbit di langit pada tanggal 25 Oktober, sembilan pejuang Zeke muncul dan meluncurkan tembakan secara simultan, dua di antaranya pengawal singling keluar induk USS White Plains. Penembak menjawab dengan tembakan senjata berat anti-pesawat udara, melumpuhkan salah satu penyerang dan pesawat kedua jatuh hanya beberapa meter dari sisi kapal. Ledakan menyembur semua diatas geladak tetapi hanya menimbulkan kerusakan kecil.

Kamikaze Zeke sebelum menerjang kapal


USS Saratoga (CV-3) terbakar setelah lima kamikaze pesawat menghantam, 21 Februari 1945


Para serangan kamikaze terus berkembang hingga tahun 1945. Pada 21 Februari, enam pesawat Jepang membuat lima dampak pada kapal induk USS Saratoga dalam tiga menit, dengan tiga bom dari pesawat-pesawat yang juga meledak di dalam lambung. Dek penerbangan Saratoga rusak, membuat lobang besar pada sisi kanan dua kali, dan api besar berkobar di hanggar dek. kobaran api dapat dikendalikan, tetapi Saratoga telah kehilangan 123 dari krunya

Kamikaze serangan di USS Missouri (BB-63), 11 April 1945


Pada 11 April, sebuah kamikaze yang terbang rendah jatuh ke sisi kapal perang USS Missouri, sayapnya berputar menyebabkan kobaran api tapi hanya kerusakan ringan.

Kamikaze serang USS Intrepid (CV-11), 25 November 1944


USS Intrepid, selamat dari serangan kamikazes. Pada 30 Oktober 1944, sepuluh dari pria tewas dan enam luka-luka ketika sebuah kamikaze terbakar dan jatuh ke menara senjata anti pesawat. Kemudian pada 25 November pesawat Jepang datang lagi ke kapal induk dan menyerang mereka, dan beberapa menit kemudian dua kamikazes telah meluncur ke Intrepid. Untungnya, hanya 11 pria tewas dan api padam dalam waktu kurang dari dua jam.

Anggota 72th Shinbu unit kamikaze, 26 Mei 1945


Sebelum berangkat, ritual minum teh dulu


Gadis SMA melambaikan tangan perpisahan untuk seorang pilot kamikaze, 12 April 1945.

 

Sumber: http://amazing.okabasi.com/
Posted by Rifan Syambodo Categories: Label: , ,

Negara yang terpecah adalah sebagai akibat Perang Dunia II yang lalu di mana suatu negara diduduki oleh negara-negara besar yang menang perang. Perang Dingin sebagai akibat pertentangan ideologi dan politik antara politik barat dan timur telah meyebabkan negara yang diduduki pecah menjadi dua yang mempunyai ideologi dan sistem pemerintahan yang saling berbeda dan yang menjurus pada sikap saling curiga-mencurigai dan bermusuhan.

Perang Dunia II

Setelah perang dunia kedua, terdapat empat negara yang terpecah-pecah,antara lain:
  1. Jerman
  2. China
  3. Korea, dan
  4. Vietnam
Kemudian Cyprus juga merupakan negara terpecah karena interverensi Yunani dan Turki.

Jerman

Sebagai akibat kekalahan perang, jerman diduduki oleh uni soviet dan amerika serikat bersama Negara-negara sekutu. selama bertahun-tahun sebagai akibat pertentangan ideologis, tidak tercapai persetujuan antara uni soviet dan amerika serikat mengenai pembentukan negara jerman yang baru, sehingga akhirnya tampil dua negara, yaitu republik federal jerman tanggal 8 mei 1949 dan republik demokratik jerman tanggal 7 oktober 1949.

Walaupun  Jerman Barat sudah merupakan negara yang merdeka, tetapi mempunyai pembatasan dalam pelaksanaan kedaulatan, seperti tidak boleh membuat senjata-senjata nuklir, senjata biologis, dan senjata kimia. Jerman Barat diduduki secara militer oleh Amerika Serikat, Inggris dan Perancis, sedangkan Jerman Timur oleh Uni Soviet. Akibat dari pertentangan ideologis dan politik antara kedua negara, usaha-usaha untuk menyatukan kembali kedua negara tersebut menjadi gagal sehingga pemisahan kedua negara ini menjadi resmi setelah masing-masingnya diterima menjadi anggota PBB pada tanggal 18 september 1973, selanjutnya kedua negara membuka hubungan resmi tanggal 20 juni 1975.

Runtuhnya tembok Berlin di akhir tahun 1989 dan berakhirnya Perang Dingin merupakan kesempatan bagi Jerman Barat untuk menyatukan kedua negara menjadi satu Jerman pada tanggal 3 oktober 1990. Setelah bergabungnya kembali menjadi satu negara, Jerman selanjutnya hanya diwakili oleh satu negara saja di PBB dan organsasi-organisasi Intenasional lainnya.

Runtuhnya Tembok Berlin

China

Setelah berakhirnya Perang Dunia II, China terpecah menjadi dua negara, yaitu Repblik Rakyat Cina di Daratan China dan Pemerintah Nasionalis Republik China di Taiwan. Sampai sekarang pemerintahan China di Beijing menganggap Taiwan hanya sebagai salah satu dari Propinsinya dan menentang konsep dua China. Pada bulan oktober 1971 kursi China di PBB telah berhasil diambil oleh wakil Republik Rakyat China dengan mengeluarkan wakil China Nasionalis dari organisasi dunia tersebut.

 Bendera Republik China

 Bendera Republik Rakyat China

Dari segi faktual, Republik China tetap dianggap sebagai negara. Sebaliknya, Republik Rakyat China mempunyai hubungan dengan mayoritas negara di dunia dan ikut berperan dalam penanganan masalah-masalah perdamaian dan keamanan Intenasional. Sampai sekarang China masih tetap mempraktikkan pemutusan hubungan diplomatik dengan negara-negara yang mengakui China Nasionalis, yang terakhir ialah dengan Macedonia pada tahun 1999.

Korea

Sampai tahun 1945 Korea diduduki oleh Jepang. Setelah berakhirnya Perang Dunia II dengan kekalahan Jepang, Korea dibagi dua yaitu Korea Utara dengan sistem Demokrasi Liberal dan Korea Selatan. Bulan Juni 1950 Korea Utara melancarkan serangan ke Korea Selatan dengan tujuan mempersatukan kedua negara, tetapi gagal berkat bantuan pasukan PBB.

Peta Korea

Persetujuan perletakan senjata Pan Mun Jon tahun 1953 telah mengembalikan keadaan pada Status Quo Ante. Kedua Korea sekarang ini masing-masing merupakan anggota aktif masyarakat Internasional dan bahkan Korea Utara adalah anggota gerakan Non-Blok. Sudah sejak lama Korea Selatan ingin menjadi anggota PBB, tetapi selalu dihalangi oleh Korea Utara melalui Uni Soviet dengan menggunakan Hak Vetonya di dewan keamanan. Setelah berakhirnya Perang Dingin, dicapai kesepakatan bahwa kedua negara tersebut diterima sebagai anggota PBB pada tahun 1991 dengan nama Democratic People’s Republic of Korea dan Republic of Korea. Perlu dicatat bahwa kedua negara secara hukum masih dalam keadaan perang Korea (1950-1953) belum diakhiri dengan suatu perjanjian perdamaian.

Vietnam

Sesuai keputusan Jenewa 1954, Vietnam dibagi oleh garis Paralel yaitu bagian Utara Rezim Komunis dan bagian Selatan Pemerintah Liberal. Selama sekitar 20 tahun terdapat dua negara terpisah yaitu Vietnam Utara dan Vietnam Selatan yang masing-masing anggota aktif masyarakat Internasional. Selanjutnya, hubungan kedua negara selalu ditandai dengan sengketa bersenjata karena tekad Vietnam Utara untuk menyatukan kedua negara yang akhirnya terlaksana dengan jatuhnya Saigon pada akhir April 1975. Setelah bersatu kembali pada tanggal 3 Juli 1976, Vietnam menjadi anggota PBB pada tanggal 20 september 1977.

Protes Yang Terjadi Atas Perang Di Vietnam


Cyprus

Sebagai akibat pengambilan kekuasaan oleh perwira-perwira Yunani yang ingin menggabungkan Cyprus dengan Yunani tahun 1974, Turki segera menduduki bagian utara dari pulau tersebut. Selanjtnya 38% dari pulau Cyprus diduduki oleh Turki dengan kehadiran 20.000 pasukannya. Akibatnya, penduduk asal Yunani terpaksa meninggalkan bagian utara pulau tersebut dan 60.000 orang Turki didatangkan dari negara induk untuk mengubah keseimbangan demografi bagian utara pulau tersebut.

Lokasi Cyprus

Kemudian masyarakat Turki di pulau itu tanggal 15 November 1983 mengumumkan lahirnya Turkish Republic of Northern Cyprus. Baik Majelis Umum PBB maupun Dewan Keamanan mengecam pendirian negara tersebut dan menyatakannya tidak sah dan minta semua negara tidak mengakui entitas tersebut dan negara-negara lainnya menolak. Pasukan Pemeliharaan Keamanan PBB yang berada di pulau tersebut berjumlah sekitar 1.000 orang (UNFICYP: United Nations Force in Cyprus) sebagai penyangga antara masyarakat asal Yunani dan Turki.
Posted by Rifan Syambodo Categories: Label:

Pada tahun-tahun terakhir menjelang kejatuhan saigon tahun 1975, negara-negara anggota ASEAN mencemaskan kemungkinan penarikan mundur pasukan Amerika Serikat dari Asia Tenggara. Ketegangan terus memuncak mengingat ASEAN adalah negara-negara Non-Komunis sedangkan negara-negara Indochina adalah negara komunis. Kemenangan Vietnam pada Perang Vietnam sudah tentu mengkhawatirkan ASEAN ditengah rencana Amerika Serikat untuk mengurangi kehadiran pasukannya yang selama ini secara tak langsung melindungi ASEAN dari invasi komunis ke kawasan tersebut.




H 4 ill 639759 cambodia-phnom penh-1979-61.jpg
Pasukan Vietnam memasuki kota Phnom Penh tahun 1979.

Sebagai antisipasi terhadap kemungkinan paling buruk jika Amerika Serikat  meninggalkan Vietnam maka ASEAN senantiasa menekankan posisinya sebagai negara yang netral dan tidak konfrontasional dan berharap negara-negara Indochina (Kamboja, Laos, dan Vietnam) akan mengikuti jalan ASEAN. Akan tetapi harapan ini tidak segera dapat diwujudkan karena dengan diproklamasikannya Republik Sosialis Vietnam (RSV) tahun 1976, sebagai konsekuensi dari kekalahan Amerika Serikat atas Vietnam, Vietnam pun tampil lebih percaya diri karena masih mendapat dukungan Soviet. Bahkan pemerintahan komunis Vietnam mempropagandakan isu-isu anti ASEAN yang mereka tuduh sebagai kepanjangan tangan Neokolonialis Amerika Serikat.

Kecemasan ASEAN memang akhirnya terwujud karena pada Desember 1978 Vietnam benar-benar menginvasi Kamboja, menggulingkan Rezim Pol Pot (yang haus darah), dan menanamkan pemerintahan Heng Samrin Pro-Vietnam. Denagn dukungan pasukan kuat Vietnam bertahan menguasai Kamboja, yang diubah menjadi RRK (Republik Rakyat Kamboja). Sementara tokoh RRK seperti Heng Samrin, Chea Sim, dan Hun Sen sebenarnya adalah mantan komandan Khmer Merah di kawasan Timur Kamboja. Mereka menentang keganasan Pol Pot dan melarikan diri ke Vietnam. Disanalah para pemberontak ini dilatih dan dipersiapkan Vietnam untuk kemudian merebut dan menduduki Kamboja dengan dukungan pasukan Vietnam.

ASEAN memandang invasi Vietnam ke Kamboja sebagai tindakan pelanggaran prinsip-prinsip dasar hubungan antar negara. Yakni, Non-Interference dan Non-Use Force. Invasi Vietnam ke Kamboja menciptakan persoalan serius di sekitar perbatasan wilayah Thailand-Kamboja. Sisa-sisa pasukan Khmer Merah yang masih bertahan plus puluhan ribu pengungsi dari Kamboja memenuhi wilayah tersebut. Konflik bersenjata di kawasan tersebut tidak terhindarkan dan dengan sendirinya mendorong tumbuhnya instabilitas di Thailand.

Pada Januari 1979, ASEAN lewat pertemuan para menteri luar negerinya, menentang perilaku Vietnam dengan mengingatkan esensi Deklarasi Bangkok 1967 sebagai protes atas tindakan campur tangan yang dilakukan Vietnam terhadap Kamboja. ASEAN secara resmi menolak mendukung pemerintahan Phnom Penh Pro-Vietnam, mendukung isolasi Internasional atas Vietnam, mengusahakan penarikan tanpa syarat pasukan Vietnam dari Kamboja, mencegah penetrasi Vietnam ke Thailand, mendukung Kamboja yang netral, damai, dan demokratis, serta mendukung kepemimpinan ASEAN dalam mencari solusi damai dalam konflik Kamboja yang bebas dari campur tangan luar.

Hanoi sebaliknya, menentang sikap ASEAN dan bersikukuh untuk mempertahankan posisinya di Kamboja. Hanoi berpendapat bahwa kehadiran pasukannya ke Kamboja untuk menyelamatkan rakyat Khmer dari Rezim pembasmi manusia dibawah kepemimpinan Pol Pot. Vietnam tidak mungkin merubah keputusan tersebut dan menolak setiap upaya perundingan Internasional untuk meninggalkan Kamboja. Hanoi hanya akan meninggalkan Kamboja jika Hanoi dan Phnom Penh memandang sudah tiba saatnya untuk melakukannya. Sikap Hanoi tumbuh dari keyakinan yang timbul sejak pasukan Amerika Serikat harus meninggalkan Vietnam Selatan.

Keberhasilan pasukan Vietnam mengalahkan pasukan Amerika Serikat menjadikan Vietnam tetap bersikukuh untuk kembali mengulang keberhasilan tersebut. Bagi Hanoi, persoalan Kamboja merupakan akibat dari ekspansionisme dan hegemoni China. Sekalipun demikian, baik Phnom Penh maupun Hanoi menegaskan bahwa apa yang berlangsung di Kamboja tidak lebih dari perang saudara antar rakyat Khmer dengan demikian bersifat domestik dan tidak memerlukan bantuan eksternal. Dukungan militer Uni Soviet merupakan faktor lain yang membuat Hanoi tidak peduli dengan pernyataan keras ASEAN yang menuntut penarikan pasukan Vietnam
Posted by Rifan Syambodo Categories: Label:

Pertempuran Dien Bien Phu (Chiến dịch Điện Biên Phủ) adalah yang terakhir dalam Perang Indochina Pertama antara Prancis dan Viet Minh. Pertempuran ini terjadi antara Maret dan Mei 1954, dan berakhir dengan kekalahan Prancis secara besar-besaran yang akhirnya menyudahi peperangan itu. Hasil dari serangkaian kekeliruan dalam proses pengambilan keputusan Prancis ialah bahwa Prancis berusaha menciptakan sebuah basis pemasokan lewat udara di Dien Bien Phu, jauh di daerah perbukitan Vietnam. Tujuannya adalah untuk memotong jalur pasokan Viet Minh ke Laos. Sebaliknya, Viet Minh di bawah Jenderal Vo Nguyen Giap, sanggup mengitari dan mengepung Prancis. Pecahlah pertarungan sengit di darat.

Viet Minh menduduki daerah perbukitan di sekitar Dien Bien Phu, dan mampu menembak ke bawah secara akurat ke posisi-posisi Prancis. Pasukan Prancis berulang-ulang membalas serangan-serangan Viet Min di posisi-posisi mereka, dengan sesekali menerjunkan pasukan-pasukan tambahan. Namun pada akhirnya Viet Minh berhasil merebut basis pertahanan Prancis dan memaksa Prancis menyerah.

Setelah pertempuran ini, perang berakhir dengan persetujuan Jenewa 1954. Persetujuan ini membagi Vietnam menjadi Utara yang komunis dan Selatan yang demokratis. Namun demikian perdamaian yang singkat itu segera berantakan. Pertempuran pecah kembali pada 1957 dengan Perang Vietnam (Perang Indochina Kedua).

Latar Belakang Dan Situasi Menjelang Pertempuran

Pada tahun 1953, Prancis keteteran dalam Perang Indochina Pertama. Serangkaian panglima perang (Thierry d'Argenlieu, Jean de Lattre de Tassigny, dan Raoul Salan) terbukti tidak mampu menekan pemberontakan Viet Minh. Dalam pertempuran-pertempuran mereka pada 1952-1953, Viet Minh telah mengalahkan kekuatan koloni Prancis di Laos, tetangga Vietnam di sebelah barat. Prancis terbukti tidak mampu menahan lajunya Viet Minh, yang segera mundur apabila kehabisan dukungan pasokan mereka yang gigih.

Pada 1953, Prancis telah mulai memperkuat pertahanan mereka di daerah delta Hanoi dan mulai mempersiapkan serangkaian serangan terhadap basis-basis Viet Minh di Vietnam barat laut. Mereka pun telah membangun sejumlah kota benteng dan pos-pos luas di wilayah itu, termasuk Lai-Chau dekat perbatasan Tiongkok di utara, Na Sanh di barat Hanoi, dan Luang-Prabang dan Plaine des Jarres di Laos utara.

Musim semi itu, Jenderal Vo Nguyen Giap dari Viet Minh melancarkan sebuah serangan besar-besaran terhadap Nan Sanh. Setelah pertempuran sengit beberapa hari, kekuatan Viet Minh kalah, sehingga menimbulkan 1.544 orang korban di pangkalan dan 1.932 lainnya luka-luka. Vo menarik mundur sebagian besar kekuatannya. Pada Mei 1953, Perdana Menteri Prancis Rene Mayer menunjuk Henri Navarre, seorang kolega kepercayaannya, untuk mengambil alih pimpinan pasukan Prancis di Indochina. Mayer memberikan satu perintah kepada Navarre - untuk menciptakan kondisi-kondisi militer yang akan membawa Prancis kepada suatu 'pemecahan politis yang terhormat'. (Davidson, 165)

Setibanya di Vietnam, Navarre dikejutkan oleh apa yang ia temukan. "Sejak kepergian de Lattre, tidak ada rencana jangka panjang. Segala sesuatunya dilakukan secara reaktif, berdasarkan pertimbangan dari hari ke hari. Operasi-operasi tempur dilakukan hanya sebagai jawaban terhadap gerakan-gerakan atau ancaman musuh. Tidak ada rencana menyeluruh untuk mengembangkan organisasi dan membangun perlengkapan dari kekuatan Ekspedisi. Akhirnya, Navarre, sang intelektual, serdadu yang dingin dan profesional, dikejutkan oleh sikap Salan dan para komandan seniornya serta para perwira stafnya yang bersikap santai, 'sekolah bubar'. Mereka akan pulang, bukan sebagai pemenang atau pahlawan, tetapi bukan juga sebagai pecundang. Bagi mereka, yang penting ialah bahwa mereka akan keluar dari Indocina dengan reputasi mereka yang compang-camping, tapi tetap utuh. Mereka tidak begitu peduli, atau tidak banyak berpikir tentang masalah untuk para pengganti mereka." (Davidson, 165)

Navarre diganggu oleh sebuah pertanyaan - apakah misinya sebagai Komisioner Tinggi Vietnam mewajibkan dia mempertahankan koloni Laos pula? Ini terbukti merupakan masalah yang paling kontroversial sekitar pertempuran ini. Laos jauh letaknya dari pusat kekuatan militer Prancis di Hanoi. Meskipun Navarre menganggap ia bertanggung jawab atas wilayah itu, upaya mempertahankannya akan mengundang risiko besar karena ia harus menggerakkan pasukannya dalam jarak jauh dari pusatnya. Navarre mengadakan serangkaian pertemuan dengan Komisi Pertahanan Nasional Prancis pada Juli 1953.

Pada Juli 17, Navarre meminta klarifikasi mengenai tanggung jawabnya di Vietnam, tentang apakah ia bertanggung jawab atas pertahanan Laos utara. Pada 24 Juli, Navarre kembali bertemu dengan Komisi ini. Pertemuan ini menghasilkan kesalahpahaman besar, fakta yang paling dipertentangkan menyangkut kontroversi sekitar pertempuran ini. Selama bertahun-tahun sesudah itu, Navarre bersikeras menyatakan bahwa Komisi itu tidak menghasilkan konsensus. Perdana Menteri Prancis, Joseph Laniel, sebaliknya menyatakan bahwa pada pada pertemuan itu, Komisi tersebut telah memerintahkan Navarre untuk melepaskan Laos bila perlu. "Tentang masalah kunci ini, bukti-bukti mendukung klaim Navarre bahwa pada 24 Juli, ia tidak mendapatkan keputusan yang jelas menyangkut tanggung jawabnya terhadap Laos. Selama bertahun-tahun, bila ditantang oleh Navarre, Laniel tidak pernah mampu menyajikan bukti tertulis apapun untuk mendukung pernyataannya bahwa Navarre telah diperintahkan untuk meninggalkan Laos bila perlu" (Davidson, 176).

Menoleh ke belakang, alasan atas keraguan komisi itu jelas. Hasil pertemuan komisi itu terus-menerus dibocorkan kepada pers. Para politikus di komisi itu tidak rela membuat pernyataan yang jelas menyangkut keputusan kebijakan yang secara politis akan merugikan mereka.


Dien Bein Phu, di Provinsi Dien Bien (warna hijau) cukup jauh 
dari Saigon, pusat kekuatan militer Prancis, sehingga transportasi
udara Prancis tidak dapat mendapatkan pasokan


Pada saat yang sama, Navarre telah mencari jalan untuk menghentikan ancaman Viet Minh terhadap Laos. Kolonel Louis Berteil, komandan Kelompok Mobil 7, merumuskan sebuah konsep "herrison" (landak). Tentara Prancis akan membangun sebuah jembatan udara yang dilindungi di dekat jalur pasokan Viet Minh yang penting ke Laos (Davidson, 173). Hal ini secara efektif akan memotong jalur tentara Viet Minh yang berperang di Laos, dan memaksa mereka untuk mundur.

Pada bulan Juni, Mayor Jenderal René Cogny, komandan di Delta Tonkin, mengusulkan Dien Bien Phu sebagai sebuah "tempat bertambat". Dalam kesalahpahaman yang lain, Cogny membayangkan suatu titik dengan pertahanan ringan, yang dijadikan pangkalan untuk melakukan penyerangan, namun bagi Navarre, ini berarti sebuah basis yang sangat diperkuat hingga mampu menghadapi suatu pengepungan. Navarre memilih Dien Bien Phu untuk lokasi "landak" Bertiel. Ketika hal ini disajikan, setiap perwira bawahan utama memprotes - Kolonel Jean Nicot, (komandan satuan transportasi Udara Prancis), Cogny, dan Jenderal Gilles dan Dechaux (komandan darat dan udara untuk CASTOR, serangan udara pertama terhadap Dien Bien Phu). Navarre menolak kritik terhadap proposalnya ini, dan menutup konferensi pada 17 November dengan menyatakan bahwa operasi akan dilaksanakan tiga hari kemudian, pada 20 November 1953. (Davidson, 184)

Navarre memutuskan untuk tetap melakukan operasi, meskipun jelas terdapat kesulitan-kesulitan operasional, karena ia telah berulang-ulang mendapatkan jaminan dari para perwira intelnya bahwa operasi itu mempunyai sedikit sekali risiko keterlibatan kekuatan lawan yang kuat. (Davidson, 189) Navarre sebelumnya telah mempertimbangkan tiga jalan lain untuk mempertahankan Laos: perang bergerak, yang tidak mungkin dilakukan, mengingat keadaan medan di Vietnam; sebuah garis pertahanan linear yang merentang hingga ke Laos, yang tidak mungkin mengingatjumlah pasukan yang ada di tangan Navarre; atau menempatkan pasukan di ibukota Laos dan menopang mereka lewat udara, yang tidak mungkin dilakukan mengingat jarak dari Hanoi ke Phrabang dan Vientiane (Davidson, 186). Jadi, satu-satunya pilihan yang tersisa di tangan Navarre adalah pilihan "landak", yang digambarkannya sebagai "sebuah solusi yang agak buruk". (Davidson, 187)

Dalam perubahan nasib yang menyedihkan, Komite Pertahanan Nasional Prancis pada akhirnya setuju bahwa tanggung jawab Navarre tidak mencakup upaya mempertahankan Laos. Namun, keputusan mereka (yang disusun pada 13 November) tidak disampaikan kepadanya hingga 4 Desember, dua minggu setelah Pertempuran Battle Dien Bien Phu dimulai. (Davidson, 176)

Nan Sanh Dan Dien Bien Phu

Nan Sanh adalah sebuah eksperimen awal yang berhasil dalam menggunakan pertahanan landak, yang meyakinkan Navarre tentang kemungkinan digunakannya konsep pertahanan jalur udara. Pada dasarnya ini adalah sebuah benteng yang dipasok hanya lewat udara. Diharapkan bahwa dengan mengulangi pembentukannya dalam skala yang lebih besar, Prancis akan dapat memancing Giap untuk mengerahkan sebagian besar kekuatannya dalam sebuah serangan massal. Hal ii akan memungkinkan artileri Prancis yang unggul, persenjataan dan dukungan udaranya, menyapu kekuatan Viet Minh di medan yang terbuka. Sayangnya, para perwira staf Prancis gagal memperhitungkan sejumlah perbedaan penting antara Dien Bien Phu dan Nan Sanh.

Pertama, di Nan Sanh Prancis menguasai hampir semua dataran tinggi dan menikmati dukungan artileri yang berlimpah. Namun, di Dien Bien Phu, situasinya terbalik: Viet Minh menguasai sebagian besar dataran tinggi di sekitar lembah, dan artileri mereka jauh melebihi Prancis. Vo Nguyen Giap membandingkan Dien Bien Phu dengan sebuah "bakul nasi", di mana pasukan-pasukannya menduduki tepiannya, sementara Prancis menduduki dasarnya.

Kedua, Giap membuat kesalahan di Nan Sanh dengan mengerahkan pasukan-pasukannya dalam sebuah serangan frontal yang ceroboh sebelum sempat melakukan cukup persiapan. Di At Dien Bien Phu, Giap menghabiskan waktu berbulan-bulan untuk menumpuk amunisi dan menempatkan artileri berat dan senapan-senapan anti pesawat udara sebelum melakukan gerakannya. Tim-tim relawan Viet Minh dikirim ke kamp Prancis untuk mencatat tempat-tempat artileri Prancis. Artileri-artileri kayu dibangun sebagai kamuflase, dan senapan-senapan yang sesungguhnya dirotasi setiap beberapa salvo untuk membingungkan serangan balik Prancis. Akibatnya, ketika pertempuran mulai, Viet Minh tahu persis di mana letak artileri Prancis, sementara Prancis bahkan tidak sadar berapa banyak senapan yang dimiliki Giap.

Ketiga, dan yang terpenting, jembatan udara di Nan Sanh tidak pernah terputus meskipun Viet Minh melakukan tembakan anti pesawat udara. Di Dien Bien Phu, Giap mengerahkan sejumlah besar serangan anti serangan udara yang dengan segera menutup landasan terang dan membuatnya sangat mahal bagi Prancis untuk mengerahkan bala bantuan.

Operasi Castor Dan Pembentukan Wilayah Udara

Operasi di Dien Bien Phu dimulai pada 10:35 pada pagi hari 20 November 1953. Dalam Operasi Castor, Prancis menerjunkan atau menerbangkan 9.000 pasukan ke wilayah itu selama tiga hari. Mereka mendarat di tiga daerah pendaratan - Natasha (barat laut dari Dien Bien Phu), Octavie (barat daya Dien Bien Phu), dan Simone (tenggara Dien Bien Phu).

Resimen ke-148 148 dari Elit Independen Viet Minh, yang bermarkas di Dien Bien Phu, bereaksi "dengan segera dan efektif", namun, tiga dari keempat batalyon mereka tidak hadir hari itu (Davidson, 193). Operasi-operasi awal berlangsung baik untuk Prancis. Pada akhir November, enam batalyon payung telah mendarat dan Prancis mengkonsolidasikan posisi-posisi mereka.

Pada saat inilah Giap memulai gerakan perlawanan baliknya. Giap telah mengharapkan datangnya serangan, tapi tidak dapat meramalkan kapan atau di mana hal itu akan terjadi. Giap menyadari bahwa bila ditekan, Prancis akan meninggalkan Provinsi Lai Chau dan berperang dalam sebuah pertempuran sengit di Dien Bien Phu. Pada 24 November, Giap memerintahkan Resimen Infantri ke-148 dan Divisi ke-316 untuk menyerang ke Lai Chau, dan Divisi ke-308, 312, dan 351 menyerang dari Viet Bac masuk ke Dien Bien Phu (Davidson, 196).

Mulai bulan Desember, Prancis, di bawah komando Kolonel Christian de Castries, mulai mentransformasi titik pangkalan mereka menjadi sebuah benteng dengan membangun berbagai titik yang kuat, masing-masing dinamai sesuai dengan nama bekas kekasih gelap Castries mistress. Pusat bentengnya dengan markas besarnya mempunyai titik yang kuat "Huguette" di sebelah barat, "Claudine" di selatan, dan "Dominique" di timur laut. Titik kuat lainnya adalah "Anne-Marie" di barat laut, "Beatrice" di timur laut, "Gabrielle" di utara dan "Isabelle" empat mil di selatan, menutupi landasan udara cadangan. Setelah dipikir kembali, pilihan Castries sebagai komandan yang bertugas di Dien Bien Phu adalah pilihan yang buruk. Navarre meilih Castries, seorang perwira kavaleri dalam tradisi abad ke-18, karena Navarre membayangkan Dien Bein Phu sebagai sebuah pertempuran bergerak. Pada kenyataannya, Dien Bien Phu membutuhkan seseorang yang cekatan dengan gaya pertahanan statis Perang Dunia I, sesuatu yang sebetulnya tidak cocok untuk Castries.

Kedatangan Divisi ke-316 menyebabkan Cogny memerintahkan evakuasi garnizun Lai Chau ke Dien Bein Phu, persis seperti yang diharapkan oleh Giap. Dalam perjalanan, praktis mereka dihabisi oleh Viet Minh. "Dari 2.100 orang yang meninggalkan Lai Chau pada 9 Desember, hanya 185 yang berhasil tiba di Dien Bein Phu pada 22 Desember. Sisanya telah dibunuh atau tertangkap, atau melakukan desersi" (Davidson, 203). Pasukan-pasukan Viet Minh kini berkumpul di Dien Bien Phu.

Perancis telah menyediakan 10.800 pasukan, dengan pasukan tambahan yang seluruhnya mencapai hampir 16.000 orang, untuk mempertahankan sebuah lembah yang dipengaruhi oleh iklim muson, yang dikelilingi oleh bukit-bukit berhutan lebat yang belum diamankan. Artileri serta sepuluh tank ringan M-24 ditambah sejumlah pesawat udara juga dikerahkan untuk mempertahankan benteng itu.

Sementara itu, Viet Minh telah memindahkan 50.000 pasukan regulernya bersama dengan 55.000 pasukan cadangan, pengangkut, dan milisi ke bukit-bukit di sekeliling lembah, seluruhnya berjumlah lima divisi, termasuk Divisi Berat ke-351 yang terdiri sepenuhnya dari artileri berat. Artileri dan senapan AA, yang jauh lebih banyak daripada artileri Prancis 4 banding 1, dipindahkan ke dalam posisi terkamuflase, mengarah ke lembah. Prancis mengalami tembakan artileri sporadik Viet Minh pertama kali pada 31 Januari 1954 dan patroli-patroli mereka menjumpai Viet Minh di segala penjuru. Mereka telah bersatu dalam pertempuran ini dan Prancis kini terkepung.

Pertempuran

Keadaan berubah pada awal Maret 1954, ketika menjadi jelas bahwa pasukan Viet Minh (Sekutu Vietnam) yang kian bertambah masuk ke wilayah itu. Pertempuran itu sendiri dimulai pada 13 Maret ketika, dengan sangat mengejutkan bagi Prancis, Viet Minh melepaskan tembakan artileri besar-besaran. Pada akhir malam pertama 9.000 peluru artileri telah jatuh di daerah itu, dan posisi Beatrice dan Gabrielle telah jatuh, meskipun dengan kerugian besar pada pihak penyerangnya yaitu lebih dari 2.500 korban. Dalam keberhasilan logistik yang besar, Viet Minh teleh berhasil mengangkut sejumlah besar peralatan mereka di bukit-bukit berhutan yang terjal, yang dianggap Prancis tidak dapat dilalui. Komandan artileri Prancis, Kolonel Piroth, yang sangat kecewa karena tidak mampu melakukan pukulan balik terhadap serangan-serangan Viet Minh yang terkamuflase dengan baik, masuk ke liang persembunyiannya dan membunuh dirinya sendiri dengan sebuah granat tangan. Ia dikuburkan di sana dengan sangat rahasia untuk mencegah hilangnya moril di antara pasukan Prancis.

Prancis menjawab dengan penambahan pasukan lewat payung terjun, namun mereka ditembaki oleh senapan-senapan anti serangan udara, suatu kejutan lain dari pihak Viet Minh. Mengingat pentingnya pasokan lewat udara, hal ini merupakan perkembangan yang menyulitkan bagi para pasukan yang mempertahankan basisnya. Prancis juga mulai menggunakan pesawat serangan darat mereka untuk menghadapi artileri, namun semua itu tidak mempunyai pengaruh yang berarti, mengingat senapan-senapan itu sangat tersembunyi.

Mengingat pentingnya pasokan lewat udara, Giap beralih dari serangan-serangan massal yang mahal, yang mulai membuat orang-orangnya hampir memberontak, kepada perembesan yang teratur dan membangun sebuah jaringan parit dan bombardemen artileri. Selain itu, Viet Minh mulai menggali parit-parit yang panjang hingga ke tengah perkemahan, menutupi gerakan mereka dari tembakan langsung, dan memungkinkan mereka membangun pertahanan dan menyerang dalam perlindungan. Landasan pertama jatuh setelah penyerangan selama lima hari dari 18 Maret hingga 23 Maret. Pesawat terakhir mendarat pada 28 Maret di landasan yang kedua, namun dihancurkan pada saat pendaratannya. Prancis menjawab dengan serangan mereka sendiri pada tanggal 28, dengan serangan terhadap posisi anti pesawat udara. Pada tanggal 31, Prancis merebut dua kubu militer di puncak bukit, Dominique dan Eliane, tapi belakangan harus meninggalkannya karena tidak adanya tambahkan pasukan.

Dengan pengiriman pasokan yang sama sekali tergantung pada parasut, arus pasokan mulai berkurang. Sebagian dari pasokan yang diterjunkan lewat udara jatuh di daerah-daerah yang dikuasai oleh Viet Minh, sehingga memberikan kepada mereka bahan-bahan yang sangat mereka butuhkan. Pada titik ini, pada dasarnya Vietnam telah memenangkan pertempuran, dan mereka menyebut sisa pertempuran sebagai "pelan-pelan melukai gajah yang sedang sekarat". Pada minggu terakhir April, angin muson tahunan tiba, sehingga semakin mengurangi efektivitas dukungan udara apapun yang dapat diberikan. Lubang-lubang pertahanan menjadi berbahaya, dan bungker-bungker runtuh. Pengiriman bala bantuan pengganti terakhir —4.306 pasukan di bawah Jenderal Marcel Bigeard, yang diterjunkan antara 14 Maret dan 6 Mei—bahkan tidak cukup menutupi kerugian yang dialami di antara kedua tanggal itu, 5.500 orang. Prancis melancarkan "Operasi Burung Kondor" pada bulan April untuk menolong pasukan garnizun dengan mengirimkan bala bantuan dari ibukota Laos ke lembah itu. Namun pasukan itu terhalang di hutan-hutan Laos yang lebat, dan benteng jadi terisolir.

Prancis melihat bahwa kekalahan akan segera datang, namun mereka berusaha bertahan terus hingga pertemuan perdamaian Jenewa, yang berlangsung pada 26 April. Serangan Prancis yang terakhir terjadi pada 4 Mei, namun tidak efektif. Viet Minh lalu mulai menghantam kubu pertahanan Prancis dengan artileri roket Rusia yang baru mereka peroleh. Giap melakukan serangan terakhirnya ini pada 1 Mei. Dari semua sisi pasukan Viet Minh menyerang posisi-posisi Prancis, dan emskipun terdapat perlawanan gigih dari pasukan Prancis dan pasukan Legiun Asing, Dominique, Eliane dan Huguette akhirnya dikalahkan dalam tiga hari berikutnya. Saat itu, bekal makanan Prancis hanya cukup untuk lima hari lagi dan banyak pasukan yang sudah mulai kehabisan amunisi. Rumah sakit mereka, yang kekurangan pasokan obat-obatan, penuh dengan mayat dan tentara yang terluka, dan moril Prancis mulai patah.

Kejatuhan terakhir membutuhkan dua hari 6 Mei dan 7 Mei; dalam hari-hari itu Prancis bertempur terus namun akhirnya digulung oleh suatu serangan besar yang fonrtal. Serangan terakhir terjadi pada 7 Mei, ketika dalam sebuah serangan artileri Viet Minh besar-besaran, 25.000 dari orang-orang Giap yang tersisa menyerang kurang dari 3.000 pasukan Prancis dalam sebuah lingkaran yang kian menyusut. Pasukan Viet Minh tumpah ke sisa-sisa pertahanan Prancis dan meskipun Prancis bertahan dengan gigih, pasukan Viet Minh yang sama gigihnya mencapai markas besar Prancis pada pk 17:30 dan De Castries menyerah. Meskipun titik pertahanan kuat Isabelle masih bisa bertahan 24 jam lagi, pengepungan terhadap Dien Bien Phu secara teknis sudah selesai.

Sekurang-kurangnya 2.200 anggota dari 16.000 pasukan Prancis yang kuat meninggal dalam pertempuran. Dari sekitar 50.000-100.000 Viet Minh yang terlibat, diperkirakan hampir 8.000 orang terbunuh dan 15.000 lagi terluka.

Setelah Pertempuran

Lebih dari 11.000 tahanan yang ditawan di Dien Bien Phu - jumlah terbesar yang pernah ditangkap oleh Viet Minh: sepertiga daripada keseluruhan tawanan yang ditangkap selama perang. Para tawanan ini dibagi ke dalam kelompok-kelompok. Mereka yang masih sehat dan yang luka-luka namun bisa berjalan dipaksa berjalan sejauh sekitar 400 km ke kamp-kamp tahanan di utara dan timur. Ratusan orang mati karena penyakit dalam perjalanan. Yang luka-luka, sejumlah 4.436 orang, diberikan perawatan darurat hingga Palang Merah tiba, menyingkirkan 838 orang dan memberikan perawatan yang lebih baik kepada sisanya. Sisanya lalu dikirim ke tempat penahanan.

Kamp penjara ternyata bahkan lebih parah. Pasukan-pasukan Prancis, banyak di antaranya bahkan bukan orang Prancis, terus-menerus dibiarkan kelaparan, dipukuli dan dilecehkan. Banyak yang mati. Viet Minh menggunakan kehadiran para serdadu veteran Perang Dunia II Wehrmacht dan Waffen-SS yang berdinas di dalam Legiun Asing sebagai propaganda untuk melawan perjuangan Prancis. Sekitar 3.300 tahanan yang buruk gizinya dan kalah, dibebaskan pada 1958.

Kemenangan Viet Minh menyebabkan diselenggarakannya Persetujuan Jenewa 1954, yang membagi Vietnam menjadi Vietnam Utara yang komunis dan Vietnam Selatan yang pemerintahannya berada di bawah Prancis. Pembagian ini direncanakan hanya sementara, dan kedua wilayah itu akan dipersatukan kembali melalui pemilihan umum nasional pada 1956. Setelah Prancis menarik diri, AS mendukung pemerintah di selatan di bawah Kaisar Bao Dai sebagai kepala negara dan Perdana Menterinya, Ngo Dinh Diem, yang menentang persetujuan itu, dengan alasan bahwa Ho Chi Minh dari Utara telah membunuh para patriot Utara dan meneror rakyat di Utara dan Selatan. Pertikaian ini akhirnya meningkat menjadi Perang Indochina Kedua.

Sumber: http://id.wikipedia.org/
  • RSS
  • Facebook
  • Twitter
  • Promote Your Blog

Recent Posts

Recent Comments